Senin, 05 September 2011

Ramadhan Tiba Dakwahtainment Mewabah

Ada yang menarik saat tiga orang dai: Ustadz Yusuf Mansur, Fikri Haikal, dan Jhoni Indo tampil bareng di TV One, Kamis (7/7). Dengan dipandu seorang presenter wanita, mereka mencoba menggali sisi lain dari sosok KH Zainuddin MZ yang wafat dua hari sebelumnya. Mereka menyuguhkan warna kehidupan Zainuddin MZ dengan sangat mendalam dari sisi yang berbeda. Sangat informatif dan aktual. Maklum, karena ketiga narasumber merupakan orang-orang terdekat Sang Dai Sejuta Umat itu. Yusuf Mansur murid Zainuddin. Fikri Haikal anak Zainuddin. Dan Jhoni Indo sahabat Zainuddin.
Namun bukan informasi itu yang menarik perhatian penulis. Di tengah-tengah acara berlangsung, Yusuf Mansur mengomentari pakaian yang dikenakan presenter TV One yang memang ’kurang pas’ untuk pemirsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Apalagi ia membawakan acara yang beraroma dakwah: mengenal lebih dekat sosok seorang kiai.
Kontradiksi seperti itu bukan sekali ini saja terjadi di layar kaca. Seringkali seorang kiai disandingkan dengan presenter, selebritis, atau narasumber lain yang tampil dengan pakaian minim. Bahkan seorang kiai ’dipaksa’ menonton artis, dengan pakaian seadanya, joget di depannya.
Di lain kesempatan seorang ustadz muncul menyampaikan tausiyah hanya beberapa menit di tengah-tengah tayangan berdurasi lebih dari satu jam. Sisa waktunya diisi oleh selebritis: penyanyi, pelawak, presenter, pesulap, pehipnotis, dan penghibur lainnya.
Fenomena-fenomena di atas muncul ketika dunia pertelevisian menjelma atau mengambil bagian dari porsi dakwah. Mereka menyebutnya ”dakwahtainment”, dakwah yang dikemas dengan gaya hiburan. Dan dakwah seperti ini ’relatif’ baru di dunia pertelevisian kita. Ketua Lembaga Dakwah al-Azhar, Abdi Kurnia Johan, menyebutkan dakwahtainment muncul di tengah-tengah masyarakat yang makin pragmatis akibat tekanan dan himpitan kebutuhan hidup yang makin sulit. Sikap pragmatis ini mendorong mereka untuk mencari dakwah yang menyejukkan kegersangan jiwa. Fenomena ini kemudian ditangkap oleh dunia pertelevisian untuk menampilkan dakwah yang heart-oriented, mengisi jiwa yang kosong, menata hati. Akibatnya pemilihan tema-tema dakwah lebih karena tuntutan pasar. Dan tema-tema seperti tauhid atau akidah menjadi terpinggirkan.
Di sisi lain, dakwah heart-oriented ini lama-kelamaan berhasil membangun opini publik dalam menentukan idola yang sarat dengan nuansa selebritis (budaya pop). Masyarakat tidak peduli lagi dengan hakikat dakwah dan arah dakwah. Yang terpenting, mereka memperoleh apa yang diinginkan dan menemukan idolanya. “Dakwahtainment telah berhasil membawa dakwah yang luhur itu ke bawah kungkungan budaya pop yang tidak lagi mandiri dan independen, tapi menggantungkan diri pada selera publik,” ujarnya sebagaimana dikutip Republika, 15 Oktober 2010.
Abdi mengatakan, secara kronologis, dahwahtainment muncul pasca-tahun 2000-an, setelah krisis ekonomi mendera negeri ini. Sebelum itu, pada kurun waktu 1970-1990-an dakwah di Indonesia sebagaimana dakwah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Tayangan-tayangan dakwah di televisi pada era itu menampilkan figur-figur dai atau muballigh yang memahami konsep dakwah yang sesungguhnya. “Memasuki tahun 2000-an dakwah mengalami stagnasi. Krisis ekonomi yang sangat dahsyat memutar arah realitas kehidupan masyarakat negeri ini,” ujarnya.
Kenyataan ini kemudian berhasil membangun konsep diri seorang dai/muballigh yang sama sekali baru dalam khazanah dakwah Islam: berlomba-lomba meningkatkan kapasitas seni dan kemampuan aksi demi mempertahankan eksistensi dan popularitasnya. Kalau sudah begitu jangan tanya bagaimana bobot dakwahnya. Dalam istilah Abdi, bobot muatan dakwahnya dapat disejajarkan dengan komedian yang berakibat pada hilangnya kemuliaan dakwah.
Sementara itu dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Drs M Nurul Yamien MSi mengatakan dakwah melalui televisi (dakwahtainment) dinilai efektif karena televisi dipandang sebagai media strategis untuk penyampaian dakwah kepada masyarakat luas. Namun, dakwahtainment menyimpan dualisme yang serius. Di satu sisi dakwah melalui televisi bisa sangat efektif. Tapi di sisi lain, televisi merupakan budaya pop yang di dalamnya terdapat ideologi kapitalisme. Di sini ada budaya massa yang menganut ideologi pasar yang menitikberatkan pada keuntungan finansial semata. Padahal, paparnya, dakwah sangat identik dengan keikhlasan demi ketajaman spiritual dan keshalihan sosial.
“Adanya kapitalisme mengakibatkan segala kreativitas budaya mau tidak mau harus bertarung untuk merebut pangsa pasar demi mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen. Pada tahap ini sangat tampak tarik-menarik antara idealisme dakwah dan entertainment,” ujarnya dalam situs umy.ac.id.
Namun, bukan berarti kita harus meninggalkan televisi sebagai media dakwah. Sebaliknya, menjadikan televisi bagian dari pelaksanaan dakwah. Dakwah di televisi makin menemukan momentumnya di saat Ramadhan.
Pengamat media massa, Ade Armando, menilai kehadiran dakwahtainment di bulan Ramadhan sah-sah saja. Dan fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Hanya saja, di Indonesia tidak ada kontrol yang kuat sehingga tak jarang dakwahtainment menodai kesucian Ramadhan. Misalnya, tayangan lawakan yang hadir di saat sahur dan menjelang buka puasa cenderung diisi dengan sindiran dan kata-kata kasar yang kurang mendidik.
Namun demikian, imbuh Ade, pada dua tahun terakhir ini ada peningkatan perhatian terhadap tayangan religius di televisi. Agama makin mendapatkan tempat. Alasannya karena daya jualnya tinggi. ”Dulu tidak ada sinetron yang pemainnya memakai jilbab atau berbusana Muslim,” ujarnya kepada Majalah Gontor.
Ya, dakwahtainment kini menjadi sesuatu yang populer dan atraktif. Bahkan termasuk tayangan seperti pengajian pagi Ustadz Maulana dan Mama Dedeh yang makin menjadi komoditi.
Menurut Ade, dakwahtainment laku karena penuh humor, lucu, atau mangharu biru. Ustadz-ustadznya menjadi tontonan. Implikasinya, jangan berharap tayangan seperti itu akan menghadirkan dakwah yang substantif. ”Ajaran agama tidak ditonjolkan secara signifikan. Agama hanya menjadi komoditas,” terang dosen komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Paramadina itu.
Ade berharap, tayangan beraroma agama yang ditayangkan pada bulan Ramadhan hendaknya tidak semata untuk kepentingan bisnis. Karena itu, ia meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memperhatikan dengan jeli berbagai acara yang ditayangkan selama Ramadhan. Tujuannya agar bulan suci Ramadhan tidak ternodai berbagai tayangan yang kontraproduktif. “Minimal KPI mencegah jangan sampai ada muatan yang tidak mencerminkan substansi agama muncul saat menyambut buka puasa atau di saat sahur.”
Hal senada dikatakan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Kholil Ridwan. Menurutnya, esensi bulan Ramadhan adalah untuk beribadah. Karena itu program dakwahtainment di televisi jangan kebablasan. “Jangan sampai esensi dari ibadah hilang karena menampilkan hal-hal yang sebenarnya kurang pantas menurut syariat,” tandasnya ketika ditemui Majalah Gontor.
Kiai Kholil menilai tayangan televisi selama bulan Ramadhan banyak yang kebablasan karena menayangkan candatawa yang berlebihan. Bahkan tak jarang menampilkan sosok perempuan yang menyerupai laki-laki atau laki-laki menyerupai perempuan. Padahal Islam melarang hal itu.
Dalam berdakwah, imbuh Kiai Kholil, ustadz atau penceramah hendaknya benar-benar mengetahui apa yang disampaikan. Bukan karena ingin dilihat oleh orang banyak, maka cara berdakwahnya dibuat sedemikian rupa sehingga terkesan seperti drama. Begitu juga para jamaahnya, yang laki-laki hendaknya tidak berhadapan langsung dengan jamaah perempuan. “Jangan hanya karena mengejar rating sesuai syariat dilanggar,” tandasnya. 
Ia menyarankan para ustadz hendaknya berdakwah sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.  Mereka mesti meniru Nabi dalam berdakwah. Rasul tidak pernah berdakwah dengan mengundang tawa berlebihan layaknya pelawak. “Islam tidak mengajarkan seperti itu,” papar pimpinan Pondok Pesantren al-Husnayain, Jakarta Timur, itu.
Menurut alumnus Pondok Modern Gontor itu, berdakwah seyogianya menampilkan materi yang argumentatif, ilmiah, serta bahasa yang baik dan tidak dibuat-buat. Dan dakwah yang disampaikan dengan cara seperti itu, lanjut Kiai Kholil, masih banyak pengikutnya. Buktinya, “Jamaah Tabligh, Jamaah Tarbiyah, Salafi, atau yang lainnya, itu banyak pengikutnya.”
Jadi, dakwah tidak mesti dikemas dengan gaya hiburan. Agar bisa ditonton orang banyak, dakwah tidak harus dipadu dengan hiburan. (Fathurroji/Devi/MG) sumber: www.majalahgontor.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar