Ada yang menarik saat tiga orang dai: Ustadz Yusuf Mansur,
Fikri Haikal,
dan Jhoni Indo tampil bareng di TV One, Kamis (7/7). Dengan dipandu
seorang
presenter wanita, mereka mencoba menggali sisi lain dari sosok KH
Zainuddin MZ
yang wafat dua hari sebelumnya. Mereka menyuguhkan warna kehidupan
Zainuddin MZ
dengan sangat mendalam dari sisi yang berbeda. Sangat informatif dan
aktual.
Maklum, karena ketiga narasumber merupakan orang-orang terdekat Sang Dai
Sejuta
Umat itu. Yusuf Mansur murid Zainuddin. Fikri Haikal anak Zainuddin. Dan
Jhoni
Indo sahabat Zainuddin.
Namun bukan informasi itu yang menarik perhatian
penulis. Di tengah-tengah acara berlangsung, Yusuf Mansur mengomentari
pakaian
yang dikenakan presenter TV One yang memang ’kurang pas’ untuk pemirsa
Indonesia yang mayoritas Muslim. Apalagi ia membawakan acara yang
beraroma
dakwah: mengenal lebih dekat sosok seorang kiai.
Kontradiksi seperti itu bukan sekali ini saja
terjadi di layar kaca. Seringkali seorang kiai disandingkan dengan
presenter,
selebritis, atau narasumber lain yang tampil dengan pakaian minim.
Bahkan
seorang kiai ’dipaksa’ menonton artis, dengan pakaian seadanya, joget di
depannya.
Di lain kesempatan seorang ustadz muncul
menyampaikan tausiyah hanya beberapa menit di tengah-tengah tayangan
berdurasi
lebih dari satu jam. Sisa waktunya diisi oleh selebritis: penyanyi,
pelawak,
presenter, pesulap, pehipnotis, dan penghibur lainnya.
Fenomena-fenomena di atas muncul ketika dunia
pertelevisian menjelma atau mengambil bagian dari porsi dakwah. Mereka
menyebutnya ”dakwahtainment”, dakwah yang dikemas dengan gaya hiburan.
Dan
dakwah seperti ini ’relatif’ baru di dunia pertelevisian kita. Ketua
Lembaga
Dakwah al-Azhar, Abdi Kurnia Johan, menyebutkan dakwahtainment muncul di
tengah-tengah masyarakat yang makin pragmatis akibat tekanan dan
himpitan
kebutuhan hidup yang makin sulit. Sikap pragmatis ini mendorong mereka
untuk
mencari dakwah yang menyejukkan kegersangan jiwa. Fenomena ini kemudian
ditangkap oleh dunia pertelevisian untuk menampilkan dakwah yang heart-oriented, mengisi jiwa yang kosong,
menata hati. Akibatnya pemilihan tema-tema
dakwah lebih karena tuntutan pasar. Dan tema-tema seperti tauhid atau
akidah
menjadi terpinggirkan.
Di sisi lain, dakwah heart-oriented ini lama-kelamaan
berhasil membangun opini publik dalam menentukan idola yang sarat dengan
nuansa
selebritis (budaya pop). Masyarakat tidak peduli lagi dengan hakikat
dakwah dan
arah dakwah. Yang terpenting, mereka memperoleh apa yang diinginkan dan
menemukan idolanya. “Dakwahtainment telah berhasil membawa dakwah yang
luhur
itu ke bawah kungkungan budaya pop yang tidak lagi mandiri dan
independen, tapi
menggantungkan diri pada selera publik,” ujarnya sebagaimana dikutip Republika, 15 Oktober 2010.
Abdi mengatakan, secara kronologis, dahwahtainment
muncul pasca-tahun 2000-an, setelah krisis ekonomi mendera negeri ini.
Sebelum
itu, pada kurun waktu 1970-1990-an dakwah di Indonesia sebagaimana
dakwah yang
dimaksudkan oleh al-Qur’an. Tayangan-tayangan dakwah di televisi pada
era itu
menampilkan figur-figur dai atau muballigh yang memahami konsep dakwah yang sesungguhnya.
“Memasuki tahun 2000-an dakwah mengalami stagnasi. Krisis ekonomi yang
sangat
dahsyat memutar arah realitas kehidupan masyarakat negeri ini,” ujarnya.
Kenyataan ini kemudian
berhasil membangun konsep diri seorang dai/muballigh yang sama sekali baru
dalam khazanah dakwah Islam: berlomba-lomba meningkatkan kapasitas seni
dan
kemampuan aksi demi mempertahankan eksistensi dan popularitasnya. Kalau
sudah
begitu jangan tanya bagaimana bobot dakwahnya. Dalam istilah Abdi, bobot
muatan
dakwahnya dapat disejajarkan dengan komedian yang berakibat pada
hilangnya
kemuliaan dakwah.
Sementara itu
dosen Fakultas
Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Drs M Nurul Yamien MSi
mengatakan dakwah melalui televisi (dakwahtainment) dinilai efektif
karena
televisi dipandang sebagai media strategis untuk penyampaian dakwah
kepada
masyarakat luas. Namun, dakwahtainment menyimpan dualisme yang serius.
Di satu
sisi dakwah melalui televisi bisa sangat efektif. Tapi di sisi lain,
televisi
merupakan budaya pop yang di dalamnya terdapat ideologi kapitalisme. Di
sini
ada budaya massa yang menganut ideologi pasar yang menitikberatkan pada
keuntungan finansial semata. Padahal, paparnya, dakwah sangat identik
dengan
keikhlasan demi ketajaman spiritual dan keshalihan sosial.
“Adanya kapitalisme mengakibatkan segala kreativitas budaya
mau tidak mau
harus bertarung untuk merebut pangsa pasar demi mendapatkan keuntungan
dari
khalayak konsumen. Pada tahap ini sangat tampak tarik-menarik antara
idealisme
dakwah dan entertainment,” ujarnya
dalam situs umy.ac.id.
Namun, bukan berarti kita harus meninggalkan televisi sebagai
media dakwah.
Sebaliknya, menjadikan televisi bagian dari pelaksanaan dakwah. Dakwah
di
televisi makin menemukan momentumnya di saat Ramadhan.
Pengamat media massa, Ade Armando, menilai kehadiran
dakwahtainment di
bulan Ramadhan sah-sah saja. Dan fenomena ini bukan hanya terjadi di
Indonesia.
Hanya saja, di Indonesia tidak ada kontrol yang kuat sehingga tak jarang
dakwahtainment menodai kesucian Ramadhan. Misalnya, tayangan lawakan
yang hadir
di saat sahur dan menjelang buka puasa cenderung diisi dengan sindiran
dan
kata-kata kasar yang kurang mendidik.
Namun demikian, imbuh Ade, pada dua tahun terakhir ini ada
peningkatan
perhatian terhadap tayangan religius di televisi. Agama makin
mendapatkan
tempat. Alasannya karena daya jualnya tinggi. ”Dulu tidak ada sinetron
yang
pemainnya memakai jilbab atau berbusana Muslim,” ujarnya kepada Majalah Gontor.
Ya, dakwahtainment kini menjadi sesuatu yang populer dan
atraktif. Bahkan
termasuk tayangan seperti pengajian pagi Ustadz Maulana dan Mama Dedeh
yang
makin menjadi komoditi.
Menurut Ade, dakwahtainment laku karena penuh humor, lucu,
atau mangharu
biru. Ustadz-ustadznya menjadi tontonan. Implikasinya, jangan berharap
tayangan
seperti itu akan menghadirkan dakwah yang substantif. ”Ajaran agama
tidak
ditonjolkan secara signifikan. Agama hanya menjadi komoditas,” terang dosen komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas
Paramadina itu.
Ade berharap, tayangan beraroma agama yang ditayangkan pada
bulan Ramadhan
hendaknya tidak semata untuk kepentingan bisnis. Karena itu, ia meminta
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) memperhatikan dengan jeli berbagai acara yang
ditayangkan selama Ramadhan. Tujuannya agar bulan suci Ramadhan tidak
ternodai
berbagai tayangan yang kontraproduktif. “Minimal KPI mencegah jangan
sampai ada
muatan yang tidak mencerminkan substansi agama muncul saat menyambut
buka puasa
atau di saat sahur.”
Hal senada dikatakan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH
Kholil
Ridwan. Menurutnya, esensi bulan Ramadhan adalah untuk beribadah. Karena
itu
program dakwahtainment di televisi jangan kebablasan. “Jangan sampai
esensi
dari ibadah hilang karena menampilkan hal-hal yang sebenarnya kurang
pantas
menurut syariat,” tandasnya ketika ditemui Majalah Gontor.
Kiai Kholil menilai tayangan televisi selama bulan Ramadhan
banyak yang
kebablasan karena menayangkan candatawa yang berlebihan. Bahkan tak
jarang
menampilkan sosok perempuan yang menyerupai laki-laki atau laki-laki
menyerupai
perempuan. Padahal Islam melarang hal itu.
Dalam
berdakwah, imbuh Kiai
Kholil, ustadz atau penceramah hendaknya benar-benar mengetahui apa yang
disampaikan. Bukan karena ingin dilihat oleh orang banyak, maka cara
berdakwahnya dibuat sedemikian rupa sehingga terkesan seperti drama.
Begitu
juga para jamaahnya, yang laki-laki hendaknya tidak berhadapan langsung
dengan
jamaah perempuan. “Jangan hanya karena mengejar rating sesuai
syariat dilanggar,”
tandasnya.
Ia menyarankan para ustadz hendaknya berdakwah sesuai tuntunan
Nabi
Muhammad SAW. Mereka mesti meniru Nabi
dalam berdakwah. Rasul tidak pernah berdakwah dengan mengundang tawa
berlebihan
layaknya pelawak. “Islam tidak mengajarkan seperti itu,” papar pimpinan
Pondok
Pesantren al-Husnayain, Jakarta Timur, itu.
Menurut alumnus Pondok Modern Gontor itu, berdakwah seyogianya
menampilkan
materi yang argumentatif, ilmiah, serta bahasa yang baik dan tidak
dibuat-buat.
Dan dakwah yang disampaikan dengan cara seperti itu, lanjut Kiai Kholil,
masih
banyak pengikutnya. Buktinya, “Jamaah Tabligh, Jamaah Tarbiyah, Salafi,
atau
yang lainnya, itu banyak pengikutnya.”
Jadi,
dakwah tidak mesti
dikemas dengan gaya hiburan. Agar bisa ditonton orang banyak, dakwah
tidak
harus dipadu dengan hiburan. (Fathurroji/Devi/MG) sumber: www.majalahgontor.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar