Disyare’atkannya hukum qishosh dan diyat dalam undang-undang
Islam tiada lain untuk melindungi jiwa manusia dari kelaliman sesamanya.
Agar seseorang tidak mudah menyakiti dan menghilangkan nyawa orang
lain. Pendeknya pukul dibalas pukul, pedang dibalas pedang, tangan
dibalas tangan, dan nyawa dibayar dengan nyawa.
Dan semenjak dini harus diadakan tindakan prefentif agar tidak sampai
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Maka seorang penyihir yang tidak sampai menyakiti atau
membunuh orang lain itu juga masih terkena sanksi dari syare’at.
Detailnya adalah sebagaimana pendapat masing-masing madzhab di bawah
ini.
Al
Hanafiyah:
Penyihir yang tidak membunuh orang lain itu juga harus dibunuh
jika: 1). Sihirnya berupa perbuatan kufur, atau 2). Diyakini sihir yang
dimilikinya bisa menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi orang lain meski
tidak ada campuran sihirnya. Di samping itu Imam Abu Hanifah yang
sebagaimana dikutib oleh Ibnu Al Abidin menjelaskan bahwa seorang
penyihir jika mengakui dirinya telah membunuh orang lain atau ada
bukti-bukti yang jelas akan perbuatannya maka ia boleh langsung dibunuh
tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu. Baik dia muslim
ataupun dzimmi. Namun ada yang berpendapat kalau yang boleh dibunuh itu
hanya yang muslim saja.
Al
Malikiyah:
Penyihir itu harus dibunuh. Demikian ini kalau memang ia sudah
diputuskan oleh hakim akan kekufurannya dengan adanya bukti-bukti
jelas. Atau juga bila dia jelas-jelas menampakkan sihirnya maka ia harus
dibunuh dan hartanya menjadi harta fai’. Kecuali apabila kemudian ia
mau bertaubat. Dalam madzhab Malikiyah ini jika penyihir tersebut adalah
seorang dzimmi maka ia juga harus dibunuh jika sihirnya tersebut sampai
membahayakan orang muslim. Dan bila yang disihir adalah sama-sama orang
dzimmi maka ia tidak perlu dibunuh kecuali apabila sihirnya itu sampai
membunuh sesamanya yang disihir.
Asy
Syafi’iyah:
Penyihir itu adalah seorang fasiq yang tidak boleh dibunuh.
Kecuali kalau sihirnya tersebut termasuk golongan sihir yang
mengkufurkannya. Atau apabila sihirnya tersebut telah membunuh orang
lain dan hal tersebut diakuinya atau terdapat bukti yang kuat atas
kelakukannya itu.
Al
Hanabilah:
Penyihir itu harus dibunuh sebagai bentuk hukuman atas
kelakuannya meskipun ia tidak melakukan pembunuhan dengan sihirnya.
Namun untuk membunuh penyihir itu ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama: Sihirnya tersebut merupakan sihir yang sudah dilabeli kufur
sebagaimana sihir Lubaid bin A’shom. Atau apabila ia berkeyakinan kalau
sihir itu diperbolehkan. Beda halnya dengan sihir yang tidak menyebabkan
kekufuran seperti yang menyangka bahwa ia hanya mengumpulkan jin dan
mereka tunduk kepada dirinya. Atau sihir yang dipakai itu dengan
menggunakan media obat-obatan, asap-asapan, atau meminumkan sesuatu yang
tidak membahayakan.
Kedua: Harus
seorang muslim. Jika penyihirnya seorang kafir dzimmi maka ia tidak
boleh dibunuh. Karena dosa kekufurannya sebab syirik itu sudah melebihi
dosa menyihir. Dan sebagaimana cerita di atas, Rosululloh melarang
membunuh Lubaid yang telah menyihirnya karena ia adalah seorang kafir.
Sebagian ulama’ menambahkan lagi syarat sihir tersebut sudah pernah
dipraktekkan. Kalau sihirnya itu hanya sekedar untuk pengetahuannya saja
maka ia tidak boleh dibunuh. (lihat:
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8575)
Membunuh Penyihir yang Membunuh
Di atas adalah sanksi-sanksi yang diterapkan kepada penyihir
yang tidak sampai membunuh orang lain. Jika penyihir itu sudah membunuh
orang lain maka menurut mayoritas ulama’ selain Hanafiyah menyatakan
kalau ketika ia menyihir dilakukan dengan sengaja maka harus diqishosh.
Di sini Al Malikiyah memberi catatan bahwa hal tersebut harus disertai
dengan pengakuan atau adanya bukti kuat.
Sedangkan menurut Asy Syafi’iyah jika penyihir tersebut
membunuh orang lain yang sekufu dengan dirinya serta disengaja maka ia
harus diqishosh. Eksekusi tersebut hanya bisa dilakukan kalau memang dia
sendiri yang mengakui sihirnya baik pengakuan tersebut secara haqiqotan
(jelas-jelas pengakuan menyihir seperti ucapan, “Saya telah membunuh si Fulan dengan sihirku”) ataupun hukman (tidak terang-terangan mengakui sihir seperti ucapan, “Saya telah membunuh si Fulan dengan cara demikian”.
Namun pengakuan yang hukman tersebut juga disyaratkan harus disaksikan olah dua orang
yang adil bahwa kelakuannya tadi memang bisa membunuh orang lain. Bila
ternyata menurut pakar perbuatan tersebut sebenarnya tidak bisa membunuh
orang lain maka pembunuhan yang dilakukannya disebut syibhul ‘amdi (menyerupai
sengaja) yang sanksinya barupa diyat
mugholladhoh (membayar 100 onta
dengan perincian 30 unta hiqqoh, 30 unta jadz’ah, dan 40 unta kholfah
yang sedang mengandung) yang dibebankan kepada ahli waris ashobahnya dan
bisa diangsur hingga tiga tahun.
Bila penyihir tersebut bilang, “Sebenarnya tadi saya mau
menyihir si Fulan A. Tapi ternyata sihir saya nyasar ke si Fulan B”.
Maka pembunuhan yang dilakukannya disebut khotho’ yang
sanksinya barupa diyat mukhoffafah (membayar 100 unta dengan perincian 20 unta hiqqoh, 20 unta
jadz’ah, 20 bintu labun, 20 ibnu labun, dan 20 unta bintu makhodz) yang
dibebankan kepada ahli waris ashobahnya dan bisa diangsur hingga tiga
tahun.
Selanjutnya menurut Syafi’iyah eksekusi atas penyihir itu
tidak bisa hanya didasarkan atas keterangan saksi atau bukti saja tanpa
ada pengakuan langsung dari pelaku. Demikian ini karena sihir itu tidak
bisa dilihat. (lihat: Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576, Matan Abi Syuja’, vol. 1, bab
Jinayat, Diyat, Syarah Iqna’, vol. 2, hal 287, I’anah At Tholibin, vol.
4, hal. 138)
Sihir = Penggal
Seorang penyihir yang secara syare’at sudah sah untuk
diqishosh maka ia harus eksekusi dengan pedang tidak boleh dengan sihir.
Sehingga bentuk qishosh yang semestinya harus sama dengan jenis
perbuatan pelaku itu tidak berlaku di sini. Karena bagaimanapun sihir
itu hukumnya adalah haram dilakukan dan sulit untuk dijelaskan secara
dhohiriyah dengan detail. (lihat:
Roudlotut Tholibin, vol. 3, hal. 355; I’anah At Tholibin, vol. 4, hal.
138; Al Majmu’, vol. 18, hal, 458; Tuhfah Al Muhtaj, vol. 3, hal. 76; Al
Muhadzdzab, vol. 3, hal. 189)
Bagaimanapun Penyihir Harus Dihukum
Penyihir yang tidak sampai terkena hukuman mati dari syare’at,
seperti halnya bila sihirnya sama sekali tidak ada unsur kekufuran dan
tidak sampai membunuh orang lain, apabila ia masih mengamalkan ilmunya
maka tetap harus dita’zir dengan ta’ziran yang memberatkan agar tidak
mengulanginya lagi. Namun bentuk ta’zirannya tersebut tidak boleh sampai
menyebabkan kematian. (lihat: Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576)
Menyewa Penyihir
Fuqoha’ sudah menetapkan sebuah consensus bahwa hukum menyewa
penyihir untuk menyihir orang lain hukumnya adalah haram kalau memang
sihir yang digunakan adalah jenis sihir yang diharamkan. (dalam hal ini
berlaku pula perincian sebagaimana hukum sihir di atas). Sehingga hukum
ijarohnya adalah tidak sah dan haram pula memberikan upah kepada si
penyihir. Demikian pula si penyihir haram hukumnya untuk mengambil
ongkos atas sihirnya tersebut.
Ketika tukang sihir yang disewa tersebut berhasil membunuh
orang yang ditentukan oleh pihak penyewa maka yang harus dibunuh
hanyalah si penyihir saja. Sedangkan si penyewa tidak boleh dibunuh dan
hanya diberi pelajaran adab tatakrama dengan keras agar tidak mengulangi
perbuatannya. Demikian sesuai dengan kaidah fiqhiyah “idza ijtama’a al mubasyir wa al mutasabbib gholabat al
mubasyir”.
Dalam hal ini madzhab Hanafiyah dan Malikiyah masih memberikan
pengecualian. Yaitu apabila menyewanya tadi adalah untuk menyembuhkan
seseorang yang terkena sihir. Maka menurut ulama’ yang memperbolehkan
sihir hukumnya adalah boleh karena hal ini termasuk masalah penyembuhan
penyakit. Demikian pula menurut Syafi’iyah. Mereka memperbolehkan
menyewa tukang sihir untuk menghilangkan sihir. Seperti mengembalikan
suami istri yang pisah karena pengaruh guna-guna sihir dan sabagainya.
Sebagaimana hukum menyewa penyihir untuk keperluan di atas
hukum memakai jasa penyihir untuk mengajarkan ilmunya itu juga tidak sah
dan ia tidak berhak untuk mengambil ongkos atas perbuatannya. Demikian
pula hukum berjualan buku-buku sihir itu juga diharamkan dan juga wajib
dimusnahkan. (lihat: Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576; Hasyiyah Bujairimi Alal Manhaj,
vol. 3, hal. 173; Hasyiyah Sulaiman Al Jamal, vol. 4, hal. 329;
Hasyiyah Asy Syarwani, vol. 6, hal. 131; Anwarul Buruq Fii Anwa’il
Furuq, vol. 4, hal. 228; Syarhul Kaukab Al Munir, vol. 1; hal. 244) den_bagoes.. http://langitan.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar