Kamis, 02 Februari 2012

UNDANGAN PERTEMUAN BANI KARIMIN KE-43

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Dengan memohon ramat dan ridho Alloh SWT, kami mengharap kehadiran Bapak / Saudara Keluarga Besar BANI KARIMIN dalam rangka TEMU WAJAH yang ke-43 yang insya Alloh akan dilaksanakan pada:
Hari : AHAD
Tanggal : 5 Pebruari 2012 /12 Robiul Awal 1433 H
Pukul 08.00 WIB
Tempat: Ibu MA 'ANI Binti SUPINAH Binti H. HUSEN (bani HUSEN)
desa Guyangan - Keboguyang Jabon Sidoarjo

Demikian undangan kami, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan jaza kumulloh khoiron katsiro.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

ttd


KETUA

Rabu, 07 September 2011

Makna Idul Fitri

Oleh : Nur Faizin Muhith
Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap ‘kemenangan’ tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.
Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.
Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis
Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali’, dari asal kata ‘ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).
Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).
Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa’
(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172).” Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).” Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.

Sisi terminologi
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.
Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.
Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.
Ikhtisar
- Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
- Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
- Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
- Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman... http//langitan.net

Hukuman Mati Bagi Penyihir

Disyare’atkannya hukum qishosh dan diyat dalam undang-undang Islam tiada lain untuk melindungi jiwa manusia dari kelaliman sesamanya. Agar seseorang tidak mudah menyakiti dan menghilangkan nyawa orang lain. Pendeknya pukul dibalas pukul, pedang dibalas pedang, tangan dibalas tangan, dan nyawa dibayar dengan nyawa. Dan semenjak dini harus diadakan tindakan prefentif agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Maka seorang penyihir yang tidak sampai menyakiti atau membunuh orang lain itu juga masih terkena sanksi dari syare’at. Detailnya adalah sebagaimana pendapat masing-masing madzhab di bawah ini.
Al Hanafiyah:
Penyihir yang tidak membunuh orang lain itu juga harus dibunuh jika: 1). Sihirnya berupa perbuatan kufur, atau 2). Diyakini sihir yang dimilikinya bisa menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi orang lain meski tidak ada campuran sihirnya. Di samping itu Imam Abu Hanifah yang sebagaimana dikutib oleh Ibnu Al Abidin menjelaskan bahwa seorang penyihir jika mengakui dirinya telah membunuh orang lain atau ada bukti-bukti yang jelas akan perbuatannya maka ia boleh langsung dibunuh tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu. Baik dia muslim ataupun dzimmi. Namun ada yang berpendapat kalau yang boleh dibunuh itu hanya yang muslim saja.
Al Malikiyah:
Penyihir itu harus dibunuh. Demikian ini kalau memang ia sudah diputuskan oleh hakim akan kekufurannya dengan adanya bukti-bukti jelas. Atau juga bila dia jelas-jelas menampakkan sihirnya maka ia harus dibunuh dan hartanya menjadi harta fai’. Kecuali apabila kemudian ia mau bertaubat. Dalam madzhab Malikiyah ini jika penyihir tersebut adalah seorang dzimmi maka ia juga harus dibunuh jika sihirnya tersebut sampai membahayakan orang muslim. Dan bila yang disihir adalah sama-sama orang dzimmi maka ia tidak perlu dibunuh kecuali apabila sihirnya itu sampai membunuh sesamanya yang disihir.
Asy Syafi’iyah:
Penyihir itu adalah seorang fasiq yang tidak boleh dibunuh. Kecuali kalau sihirnya tersebut termasuk golongan sihir yang mengkufurkannya. Atau apabila sihirnya tersebut telah membunuh orang lain dan hal tersebut diakuinya atau terdapat bukti yang kuat atas kelakukannya itu.
Al Hanabilah:
Penyihir itu harus dibunuh sebagai bentuk hukuman atas kelakuannya meskipun ia tidak melakukan pembunuhan dengan sihirnya. Namun untuk membunuh penyihir itu ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama: Sihirnya tersebut merupakan sihir yang sudah dilabeli kufur sebagaimana sihir Lubaid bin A’shom. Atau apabila ia berkeyakinan kalau sihir itu diperbolehkan. Beda halnya dengan sihir yang tidak menyebabkan kekufuran seperti yang menyangka bahwa ia hanya mengumpulkan jin dan mereka tunduk kepada dirinya. Atau sihir yang dipakai itu dengan menggunakan media obat-obatan, asap-asapan, atau meminumkan sesuatu yang tidak membahayakan.
Kedua: Harus seorang muslim. Jika penyihirnya seorang kafir dzimmi maka ia tidak boleh dibunuh. Karena dosa kekufurannya sebab syirik itu sudah melebihi dosa menyihir. Dan sebagaimana cerita di atas, Rosululloh melarang membunuh Lubaid yang telah menyihirnya karena ia adalah seorang kafir. Sebagian ulama’ menambahkan lagi syarat sihir tersebut sudah pernah dipraktekkan. Kalau sihirnya itu hanya sekedar untuk pengetahuannya saja maka ia tidak boleh dibunuh. (lihat: Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8575)
Membunuh Penyihir yang Membunuh
Di atas adalah sanksi-sanksi yang diterapkan kepada penyihir yang tidak sampai membunuh orang lain. Jika penyihir itu sudah membunuh orang lain maka menurut mayoritas ulama’ selain Hanafiyah menyatakan kalau ketika ia menyihir dilakukan dengan sengaja maka harus diqishosh. Di sini Al Malikiyah memberi catatan bahwa hal tersebut harus disertai dengan pengakuan atau adanya bukti kuat.
Sedangkan menurut Asy Syafi’iyah jika penyihir tersebut membunuh orang lain yang sekufu dengan dirinya serta disengaja maka ia harus diqishosh. Eksekusi tersebut hanya bisa dilakukan kalau memang dia sendiri yang mengakui sihirnya baik pengakuan tersebut secara haqiqotan (jelas-jelas pengakuan menyihir seperti ucapan, “Saya telah membunuh si Fulan dengan sihirku”) ataupun hukman (tidak terang-terangan mengakui sihir seperti ucapan, “Saya telah membunuh si Fulan dengan cara demikian”.
Namun pengakuan yang hukman tersebut juga disyaratkan harus disaksikan olah dua orang yang adil bahwa kelakuannya tadi memang bisa membunuh orang lain. Bila ternyata menurut pakar perbuatan tersebut sebenarnya tidak bisa membunuh orang lain maka pembunuhan yang dilakukannya disebut syibhul ‘amdi (menyerupai sengaja) yang sanksinya barupa diyat mugholladhoh (membayar 100 onta dengan perincian 30 unta hiqqoh, 30 unta jadz’ah, dan 40 unta kholfah yang sedang mengandung) yang dibebankan kepada ahli waris ashobahnya dan bisa diangsur hingga tiga tahun.
Bila penyihir tersebut bilang, “Sebenarnya tadi saya mau menyihir si Fulan A. Tapi ternyata sihir saya nyasar ke si Fulan B”. Maka pembunuhan yang dilakukannya disebut khotho’ yang sanksinya barupa diyat mukhoffafah (membayar 100 unta dengan perincian 20 unta hiqqoh, 20 unta jadz’ah, 20 bintu labun, 20 ibnu labun, dan 20 unta bintu makhodz) yang dibebankan kepada ahli waris ashobahnya dan bisa diangsur hingga tiga tahun.
Selanjutnya menurut Syafi’iyah eksekusi atas penyihir itu tidak bisa hanya didasarkan atas keterangan saksi atau bukti saja tanpa ada pengakuan langsung dari pelaku. Demikian ini karena sihir itu tidak bisa dilihat. (lihat: Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576, Matan Abi Syuja’, vol. 1, bab Jinayat, Diyat, Syarah Iqna’, vol. 2, hal 287, I’anah At Tholibin, vol. 4, hal. 138)
Sihir = Penggal
Seorang penyihir yang secara syare’at sudah sah untuk diqishosh maka ia harus eksekusi dengan pedang tidak boleh dengan sihir. Sehingga bentuk qishosh yang semestinya harus sama dengan jenis perbuatan pelaku itu tidak berlaku di sini. Karena bagaimanapun sihir itu hukumnya adalah haram dilakukan dan sulit untuk dijelaskan secara dhohiriyah dengan detail. (lihat: Roudlotut Tholibin, vol. 3, hal. 355; I’anah At Tholibin, vol. 4, hal. 138; Al Majmu’, vol. 18, hal, 458; Tuhfah Al Muhtaj, vol. 3, hal. 76; Al Muhadzdzab, vol. 3, hal. 189)
Bagaimanapun Penyihir Harus Dihukum
Penyihir yang tidak sampai terkena hukuman mati dari syare’at, seperti halnya bila sihirnya sama sekali tidak ada unsur kekufuran dan tidak sampai membunuh orang lain, apabila ia masih mengamalkan ilmunya maka tetap harus dita’zir dengan ta’ziran yang memberatkan agar tidak mengulanginya lagi. Namun bentuk ta’zirannya tersebut tidak boleh sampai menyebabkan kematian. (lihat: Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576)
Menyewa Penyihir
Fuqoha’ sudah menetapkan sebuah consensus bahwa hukum menyewa penyihir untuk menyihir orang lain hukumnya adalah haram kalau memang sihir yang digunakan adalah jenis sihir yang diharamkan. (dalam hal ini berlaku pula perincian sebagaimana hukum sihir di atas). Sehingga hukum ijarohnya adalah tidak sah dan haram pula memberikan upah kepada si penyihir. Demikian pula si penyihir haram hukumnya untuk mengambil ongkos atas sihirnya tersebut.
Ketika tukang sihir yang disewa tersebut berhasil membunuh orang yang ditentukan oleh pihak penyewa maka yang harus dibunuh hanyalah si penyihir saja. Sedangkan si penyewa tidak boleh dibunuh dan hanya diberi pelajaran adab tatakrama dengan keras agar tidak mengulangi perbuatannya. Demikian sesuai dengan kaidah fiqhiyah “idza ijtama’a al mubasyir wa al mutasabbib gholabat al mubasyir”.
Dalam hal ini madzhab Hanafiyah dan Malikiyah masih memberikan pengecualian. Yaitu apabila menyewanya tadi adalah untuk menyembuhkan seseorang yang terkena sihir. Maka menurut ulama’ yang memperbolehkan sihir hukumnya adalah boleh karena hal ini termasuk masalah penyembuhan penyakit. Demikian pula menurut Syafi’iyah. Mereka memperbolehkan menyewa tukang sihir untuk menghilangkan sihir. Seperti mengembalikan suami istri yang pisah karena pengaruh guna-guna sihir dan sabagainya.
Sebagaimana hukum menyewa penyihir untuk keperluan di atas hukum memakai jasa penyihir untuk mengajarkan ilmunya itu juga tidak sah dan ia tidak berhak untuk mengambil ongkos atas perbuatannya. Demikian pula hukum berjualan buku-buku sihir itu juga diharamkan dan juga wajib dimusnahkan. (lihat: Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, vol. 2, hal. 8576; Hasyiyah Bujairimi Alal Manhaj, vol. 3, hal. 173; Hasyiyah Sulaiman Al Jamal, vol. 4, hal. 329; Hasyiyah Asy Syarwani, vol. 6, hal. 131; Anwarul Buruq Fii Anwa’il Furuq, vol. 4, hal. 228; Syarhul Kaukab Al Munir, vol. 1; hal. 244) den_bagoes.. http://langitan.net

Ingin jadi hamba yang selamat? Taubat

Apabila kita mengatakan sesuatu hal yang sederhananya paa seseorang yang kita kasihi, pasti ia akan marah apabila hal itu kurang baik yang bersifat menduakannya meskipun kita mengadu untuk minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Berbeda dengan hal itu, apabila kita mengadu dengan terus terang kepada Tuhan tentang kesalahan-kesalahan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, maka Ia tidak akan marah, bahkan Ia akan mencintai orang-orang yang mau bertanggung jawab dengan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat, dan inilah mungkin yang dikatakan dengan taubat. Begitu banyak Al Quran maupun hadis yang menerangkan kemuliaan orang-orang yang mau bertaubat akan tetapi sangatlah sedikit orang yang mau sadar dengan jiwa besarnya untuk bartaubat, mengadu kepada sang pencipta tentang dosa-dosa yang telah kita perbuat dan mau mengaakan perjanjian untuk tidak mengulanginya lagi, sampai kapanpun.
Didalam menelusuri kehidupan dibumi, manusia dihadapkan pada 3 suri tauladan:
1.Uswarun Hasanah, yaitu malaikat. Untuk mengikuti dan meniru malaikat, bagi seorang manusia adalah suatu hal diatas kewajaran manusia, meskipun tidak menutup kemungkinan hal itu bisa terjadi . Hal ini dikarenakan watak dan tabiat malaikat selalu berada pada rekl-rel kebenaran dan kepatuhan. Ia senantiasa berpegang teguh pada apa yang diperintahkan, dan sedikitpun tidak pernwah terbayang untuk melanggar dan meninggalkan perintahnya.
2.Uswatun Sayyiah, yaitu Syaiton. Jaringan Syaitan sangatlah luas, semua orang berpotensi untuk menceburkan diri dan menyelami “Lautan dosa” yang telah dipasang oleh syaitan. Semenjak Ia di proklamirkan untuk masuk neraka selama-lamanya, maka ia senantiasa membujuk, membuat tipu daya kepada ummat Muhammad untuk menjadi pengikutnya dineraka nanti.dan ini cukup menghawatirkan karena hampir semua kesenangan dikelilingi syaitan dan setiap nafas dan gerakan kita apabila kendali kekuatan man seseorang tidak benar-benar kuat, maka pelan tapi pasti Ia akan melakukan kesalahan-kesalahan atau yang lebih dikenal dengan sebutan dosa.
3.Uswah Al Mustaa, yaitu bapak kita, Nabi Adam A,S. Kita pasti ingat bahwa nabi adam pernah melakukan kesalahan dengan melanggar larangan tuhan untuk tidak makan buah khuldi. Sehingga beliau harus dihukum dengan dikeluarkannya dari istana Surga. Lalu, apakah dengan dalil ini kita bisa semena-mena untuk melakukan dosa? Kita juga harus mengingatnya kembali, bahwa setelah kejadian itu nabi Adam bertaubat, menyesali segala yang telah dia perbuat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Sebagai manusia yang diciptakan dengan berada ditengah-tengah (antara kebaikan dan keburukan). Ia disyariatkan untuk bertaubat (lihat QS. An Nur 31, Al Baqoroh 222, At Tarhim 8.), hal ini karena semua manusia akan terjerumus dalam ruang dosa. Dan yang paling menggembirakan orang yang taubatnya diterima, ia laksana tidak pernah melakukannya. Dan mungkn juga hanyalah taubat kuna’ kesuksesan seorang hamba dizaman yang penuh tantangan ini.
Komponen Taubat
sekireanya sudah banyak Ulama yang membajhsa panjang lebar tentang kompoen taubat dan pokok-pokok yang mendasarinya. Ada yang mengatakan taubat adalah penyesalan dan ada juga yang mengatakan taubat adalah kehendak-kehendak untuk meninggalkan segala hal yang berbau kejelekan tanpa menafikan semua pendapt yang telah ada sekiranya ada beberapa hal penting yang bisa mensukseskan taubat. Untuk menghasilkan taubat yang baik, sekirasnya tidak terlepas boleh terlepas dari Ilmu (pengetahuan), hal (keadaan), fiil (perbuatan). Ilmu akan menetapkan hal, dan hal akan menyempurnakan fiil. Didalam diterimanya taubat disini Allah SWT yang dimaksud dengan ilmu disini adalah pengetahuan tentang bahaya dosa dan tertutupnya seorang hamba untuk berinteraksi dengan kekasihnya. Dikarenakan hamba tersebut telah melakukan suatu hal yang tidak disukai seorang kekasih. Bagaimanakah perasaan seseorang apabila “dicuekin” oleh sang kekasih yang Ia cintai? Semua orang pasti akan merasa sakit apabila ditinggalkan sang kekasih, kesusahan yang menyiksa di saat-saat seperti inilah yang dinamakan denga penyesalan qosdu. Dengan semangat yang menggelora, berbekal gemuruh cinta di dada seorang hamba akan berusaha meraih simpati hati sang kekasih. Dan keinginan kuat untuk merubah suatu perbuatan yang telah menjadi suatu perbuatan yang dipuja. Inilah yang nantinya akan berhubungan dengan hal (keadaan) baik keadaan masa islam, saat kejadian dan masa yang akan datang.
Bagi seorang Taib (julukan orang yang bertaubat) apabila telah mengenali hal (keadaan) dengan baik, maka Ia akan memperhatikan beberapa hal. Dalam berhubungan dengan amal yang telah silam, Ia akan berusaha menggantikan amal-amal tersebut jika amal tersebut merupakan amal yang bisa diganti seperti Sholat, puasa, haji dan lain-lain. Atau merupakan amal yang tidak bisa diganti seperti dosa yang terlanjur diperbuat, maka ia akan seakin giat mengerjakan amal-amal kebajikan sebagai ganti kesalahan-kesalahan yang telah lalu. Adapun hal (keadaan) yang berhubungan dengan zaman yang terjadi dan zaman istiqbal (masa yang akan datang) ialah dengan meninggalkan dosa-dosa yang telah diperbuat dan sampai kapanpun tidak akan mengulanginya lagi. Dari serangkaian komponen diatas(ilmu, nadam, dosdu) akan menghasilkan fiil, yaitu suatu perbuatan baik yang bisa dinilai positif atas dosa-dosa yang telah terlanjur kita perbuat. Keberadaan fiil disini sangat besar pengaruhnya karena ia ibarat cahaya yang menerobos ruang yang penuh kegelapan atau seperti cahaya matahari yang menyibak mendung dan hujan sehingga suatu hijab(penutup) yang sebelumnya menghalangi seorang hamba untuk merajut cinta kini telah pudar dan bersemi kembali.sehingga tidak salah jika ada yang mengibaratkan orang yang mau bertaubat laksana orang yang tidak pernah melakukan dosa. Apalah arti suatu kegelapan dalam ruangan yang yang kini telah bersinar? Pasti kegelapan tersebut sudah tiada terasa,laksana pakaian yang kotor dn bau kini bersinar harum mewangi setelah dicuci dg taubat dan amal kebaikan.. http://langitan.net

Iblis yang Pintar, Manusia Tolol

Tidak sedikit orang yang berusaha mencari justifikasi (pembenar), agar pilihannya menjadi orang kaya tidak direcoki oleh kepentingan agama. Bagi mereka kaya itu lebih baik dari pada miskin, asalkan mau bersyukur. Tidak jarang pula mereka menjadikan keberadaan para sahabat Nabi yang kaya raya sebagai tameng diri mereka. “Kalau sahabat Abdurrohman bin ‘Auf saja kaya raya dan tidak dilarang oleh Nabi kenapa aku tidak boleh?” Begitu kira-kira yang ada dibenak mereka.
Namun sangat disayangkan kalau apa yang mereka katakan tidaklah sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Mereka hanya pandai berkhotbah dan berteori tentang masalah dunia. Tetapi sama sekali hal itu tidak terjadi dalam kehidupan mereka. Itulah yang kemudian disebut dengan ‘ulamassu’ (ulama jelek). Dari luar, mereka kelihatan sangat bagus dan baik, namun di dalam hati mereka yang tersisa hanyalah kotoran-kotoran yang menjijikkan. Mereka tak lebih dari sebuah alat penyaring yang selalu mengeluarkan kebaikan bagi orang lain namun juga menyisakan kehinaan bagi dirinya sendiri.
Harus disadari bahwa budak-budak duniawi selamanya tidak akan pernah mencapai puncak surgawi. Mereka tidak akan pernah merasakan kenikmatan ukhrowi yang haqiqi kalau mereka tidak bisa melepaskan diri dari rasa syahwat dan cinta duniawi yang menunggangi mereka. Sebenarnya hati kecil mereka sadar akan hal ini dan selalu menangis minta keadilan. Tetapi mereka lebih dikendalikan oleh nafsu dan birahi dari pada suara hati kecil mereka. Sehingga permintaan si hati kecil hanya dituruti oleh lisan saja. Seolah-olah mereka mengajak umat manusia untuk meninggalkan dunia sedikit demi sedikit. Padahal dia tidak pernah sadar bahwa sebuah rumah yang gelap gulita tidak akan pernah menjadi terang benerang hanya dengan sebuah lampu yang diletakkan di luar.
Mengaku atau pun tidak, kebahagiaan mereka para pengumpul harta benda hanyalah bersifat semu dan fatamorgana belaka. Sehingga tak jarang di balik rasa bahagia yang mereka bangun kerap kali timbul perasaan susah dan khawatir bahkan sering menimbulkan berbagai tindak kedurhakaan kepada Allah. Mereka selalu berharap bisa mencapai tingkat kebahagiaan yang haqiqi dengan dunia yang mereka miliki. Namun sayang mereka telah salah jalan. Menyesal-lah mereka di dunia dan akhirat. Demikian itulah penyesalan yang nyata.
Kalaupun kemudian mereka beragumentasi dengan kekayaan yang dimiliki para ulama dan sahabat Nabi Muhammad itu semua tidak lebih dari sekadar alasan agar mereka bisa merasa tenang, dan juga tak lain merupakan tipu daya syetan untuk menyesatkan manusia. Secara realisitis harus dipahami bahwa kekayaan yang dimiliki oleh Sahabat Abdurrohman bin ‘Auf atau sahabat yang lain bukanlah digunakan untuk takatsur (jor-joran), kemulyaan dan menghiasi diri sendiri saja. Dan kalau mereka beranggapan bahwa apa yang ada pada diri sahabat seperti itu sama dengan mereka, maka celakalah mereka yang telah merendahkan derajat seorang sahabat Nabi. Dan jika apa yang mereka kumpulkan hanyalah harta yang halal saja bukan berarti itu bisa dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan legalitas agama dalam menumpuk kekayaannya.
Kenapa mereka tidak mau pernah berpikir secara jernih bahwa segala alasan mereka untuk mendapatkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya dengan dalih sahabat Abdurrohman adalah kesalahan yang sangat fatal. Mereka tidak mau meneliti secara detail pada diri beliau. Bahwa meskipun beliau memiliki harta yang melimpah, semua itu malah bukan menjadi harapannya. Sehingga sering kali beliau berharap agar kelak di hari kiamat hanya diberi harta yang sekadar untuk kecukupan makan saja. Bahkan para sahabat beliau sempat menghawatirkan keberadaan beliau setelah meninggal dunia, padahal beliau termasuk salah satu sahabat yang mendapat jaminan masuk sorga.
Bila para sahabat saja khawatir akan diri Abdurrohmah bin ‘Auf padahal harta yang beliau peroleh semua dengan cara yang halal dan selalu dialokasikan pada kebaikan, lantas bagaimana dengan orang-orang yang di bawah level beliau?
Sungguh ironis kalau ini masih dijadikan sebagai alasan oleh mereka. Padahal harta yang mereka peroleh sangat rentan bercampur dengan barang subhat, haram atau sangat mungkin tercampur dengan hak milik orang lain. Dan sudah sangat jelas inilah strategi hebat yang selalu dijalani si Jahannam, Iblis.
Memang, tidak bisa dipungkiri kalau banyak kalangan kyai yang memiliki harta melimpah. Tetapi dengan semua itu mereka sangat merasa tahu diri karena tujuan mereka hanya satu yakni jalan Allah. Maka mereka hanya akan bekerja dan makan dari yang halal saja, tidak foya-foya, tidak bakhil dan selalu mengedepankan kepentingan Allah atas kesenangan pribadinya. Lantas demikiankah orang-orang yang mengaku meniru sahabat Abdurrohman bin ‘Auf itu? Entahlah. Tetapi yang nyata dan jelas adalah tidak.
Para sahabat Nabi bukalanlah tipe manusia yang mata duitan dan kedunyan. Mereka adalah kelompok orang yang lebih suka kemiskinan dari pada bergelimang harta benda. Dalam keadaan susah atau pun bahagia mereka selalu merasa ridla dan bangga akan taqdir dari Allah. Sehingga tak jarang para sahabat ketika mendapatkan secuil harta saja, rasa susahnya bukan main. Bagi mereka harta dunia sekecil apa pun bisa menjadi ancaman serius yang bisa menghancurkan kehidupan akherat mereka. Namun bila kekurangan datang menghampiri mereka, dengan rasa bangga mereka akan menyambut dengan mengucapkan “marhaban bisyi’aris sholihin” (selamat datang tanda-tanda kebesaran kaum sholihin).
Sewaktu mereka ditanya, “Mengapa semua itu mereka lakukan?” mereka menjawab, “Ketika matahari menyinari diriku dan di sekitarku dan keluargaku tidak ada apa-apa maka aku merasa bahagia karena aku telah dapat mengikuti jejak Rasulullah. Namun jika di sekeliling kami ada harta dunia kami merasa susah karena kami ternyata tidak mampu mengikuti jejak langkah Rasulullah”.
Dan kalau kemudian mereka merasa bisa meniru sahabat Abdurrahman bin ‘Auf, hanya mencari dan makan yang halal saja kemudian ditasarrufkan terhadap hal-hal yang diridlai oleh Allah, maka sekali lagi percayalah, bahwa hal itu juga merupakan agenda jebakan Syetan.
Mereka harus menyadari kalau mencari sesuatu yang benar-benar halal seperti yang pernah diperoleh para sahabat pada masa sekarang ini tak lebih seperti halnya mencari butiran pasir hitam di tengah kegelapan malam. Tentunya perlu diperhatikan bagaimana kehati-hatian para sahabat dalam mencari harta benda. Seumpama ada 70 pintu menuju perkara halal dan bersanding dengan 1 pintu menuju hal haram, mereka tidak akan pernah mau melewati ke-71 pintu tersebut. Padahal pada masa sekarang ini untuk mencari harta yang benar-benar halal sangatlah sulit sekali atau bahkan bisa dibilang mustahil. Lantas bagaimana dengan mereka para hamba dunia itu?
Seumpama mereka bisa melakukan hal itu pun bukan berarti mereka telah menyelesaikan segala permasalahan. Mau tidak mau setelah harta telah mereka peroleh, mareka harus memikirkan bagaimana mentasarrufkannya. Dan ini pun akan sangat menguras energi dan pikiran. Sehingga Khiyarut Tabi’in (Para Tabi’in terbaik) ketika ditanya, “Baik mana antara orang yang mencari harta kemudian ditasarrufkan di jalan Allah dengan orang yang sama sekali tidak mencari harta?” mereka menjawab, “Orang yang kedua itu masih lebih baik dari pada orang yang pertama. Dan kalau dibandingkan, jarak perbedaan diantara keduannya adalah bagikan arah barat dan timur.”
Kalaupun dengan memperbanyak harta benda itu akan bisa mendatangkan kebahagiaan, maka bagaimana mungkin Rasulullah tidak melakukan hal itu. Padahal beliau adalah lentera petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bahkan seandainya mau, beliau bisa menjadi orang yang terkaya sejagat raya. Sampai malaikat Jibril juga pernah menawari beliau bongkahan emas sebesar gunung Uhud. Namun beliau tidak pernah mau dan lebih menyukai hidup dengan serba sederhana. Dan tentunya cukuplah bagi mereka kisah sahabat Tsa’labah.
Maka tidak ada alasan sama sekali bagi seseorang untuk menumpuk harta kekayaannya. Apapun argumentasi yang mereka pakai semua itu adalah rekayasa dan tipu daya yang telah dirancang dengan rapi oleh Iblis dan Syetan. Dan itu mereka gunakan hanyalah untuk membentengi diri mereka dari intervensi agama. Dan mereka sadar betul kalau sebenarnya itu mereka lakukan hanya karena takut jatuh miskin, untuk berfoya-foya, jor-joran dan sebagainya. Mengaku atau tidak? Mereka harus mengakuinya!.. http://langitan.net

Selasa, 06 September 2011

Matinya Mata Hati

Pemayahan diri dalam mengupayakan perkara yang telah mendapatkan jaminan dari Allah Swt dan penyia-nyiaan perkara yang diperintahkan oleh-Nya adalah merupakan indikasi kebutaan mata hati seorang manusia.
Sisi kehidupan manusia di alam dunia yang mendapat jaminan dari Allah Swt adalah urusan rizqi sebagai media penjaga keberlangsungan hidup. Jaminan ini semata merupakan kemurahan dari Allah pada manusia bukan kewajiban atas-Nya. Sebagaimana difirmankan :

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan berapa banyak hewan yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri, Allah lah yang memberi rizki padanya dan padamu. dan Ia maha mendengar lagi maha mengetahui.(QS:Al-ankabut 60)

Maksudnya Allah Swt adalah satu-satunya dzat penyuplai segala kebutuhan ragawi seluruh makhluk-Nya termasuk juga manusia, bukan yang lain-Nya atau usaha kita sendiri. Rizki seorang manusia telah ditentukan kadarnya untuk masing-masing pribadi jauh hari sebelum manusia sendiri itu diwujudkan, tepatnya yaitu lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Manusia tidak perlu pusing memikirkan rizqi, karena Allah tidak memerintahkan manusia untuk memayahkan diri dalam mencarinya, manusia tidak perlu menghabiskan seluruh kekuatan untuk mendapatkannya, mencurahkan seluruh perhatian untuk menghasilkannya. Rizqi itu ibarat bayangan yang akan lari bila kita kejar dan berhenti manakala kita tenang. Falsafah yang semestinya kita terapkan adalah rizki itu mencari kita bukan kita yang mencari rizki. Sebagaimana pula ajal yang menghampiri kita bukan kita yang menghampiri ajal.
Meskipun demikian, kita juga sebaiknya tetap berusaha mencarinya. Sebagaimana secara implisit kita dapati suatu perintah anjuran dalam Alqur’an :

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur pada-Nya. (QS: Al-qosos 73) 

Pencarian yang diperintahkan di sini tentu sebatas upaya yang wajar dan sekadarnya saja, tidak sampai menghabiskan seluruh kekuatan. Sebagaimana tergambar dalam suatu ungkapan yang konon termaktub dalam kitab Taurot yang diturunkan kepada Nabi Musa As : 

يَا ابْنَ آدَمَ حَرِّكْ يَدَك يُسَبَّبْ لَك رِزْقُك
Hai anak adam (manusia) gerakkanlah tanganmu, maka rizkimu akan datang karenanya.

Sehingga pekerjaan yang dilakukan dalam rangka mencari rizki ini tidak sampai menjadi indikator padamnya mata hati, karena upaya itu tidak sampai merusak kepasrahan seorang hamba kepada Allah Swt, meski berusaha namun ia tetap berkeyakinan bahwa otoritas yang menentukan berhasil tidaknya usaha yang di lakukan adalah Allah semata. Dan juga usahanya itu tidak akan sampai berimplikasi pada terbengkalainya tugas-tugas penghambaan yang telah dititahkan.
Mata hati yang dalam lughot arab disebut “Bashiroh” adalah sebuah perangkat dalam diri manusia yang berfungsi untuk menganalisa hal-hal yang bersifat ma’nawi. Sebagaimana mata kepala tidak dapat melihat kecuali pada hal-hal yang tampak. Mata hati inilah yang mempunyai pandangan jauh ke depan, mempunyai pengetahuan bahwa akhir cerita yang baik dari segalanya adalah taqwa. Karena itulah yang semestinya dilakukan oleh seorang hamba adalah pemayahan diri dan pengerahan segala daya upaya demi merealisasikan taqwa yang memang benar-benar berkwalitas serta tidak ada lagi alasan untuk menundanya.
Jika Allah Swt menghendaki terbukanya mata hati seorang hamba, maka raga hamba tersebu akan selalu disibukkan dengan aktifitas-aktifitas ibadah dan penghambaan pada-Nya, batinnya akan disibukkan dengan kecintaan kepada-Nya. Ketika kecintaan dalam batin seorang hamba sudah semakin membahana, panghambaannya juga sudah semakin intens, maka mata hatinya akan semakin bertambah ketajamannya. Hingga pada saatnya mata hati itupun dapat mendominasi mata kepalanya, penglihatan dzohirnya larut dalam pandangan mata batinnya, hingga yang terlihat olehnya hanyalah perkara-perkara ma’nawi saja. Kiranya inilah ma’na pernyataan guru dari para guru kita yang majdub (orang yang ditarik oleh Allah untuk menjadi kekasih-Nya dan saking terlena dengan kecintaan kepada Allah hingga ia tak merasakan keberadaan dirinya sendiri ) :
غَيَّبْتُ نَظَرِيْ فِي نَظَرٍ # وَأَفْنَيْتُ عَنْ كُلِّ فَانِي
حَقَّقْتُ مَا وَجَدْتُ غَيَّرَ # وَأَمْسَيْتُ فِي الْحَالِ هَانِي

Ku hilangkan pandanganku dalam pandangan, ku sirnakan (pandanganku) dari segala yang sirna.
Kupastikan semua yang kutemui berubah-ubah, dan sore ini diriku dalam keadaan senang. 

Sebaliknya jika Allah Swt menghendaki untuk menghinakan seorang hamba, maka Allah akan menyibukkan fisiknya dengan melayani makhluk dan menyibukkan bathinnya dengan kecintaan kepada mahluk. Kondisi ini akan berlangsung terus-menerus hingga meredup dan padamlah mata hatinya, sehingga yang berfungsi hanyalah mata kepalanya saja, ia tidak dapat melihat kecuali hanya pada perkara-perkara yang tampak oleh panca indra saja. Hingga tercurahlah segala perhatiannya pada perkara yang telah mendapat jaminan dari Allah Swt yaitu urusan rizki. Ia habiskan seluruh kekuatan dirinya untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Kita hanya bisa meminta perlindungan kepada Allah Swt. Wallohu a’lam. By : Doel-Ziez. http://langitan.net

Wanita Idaman Dalam Pandangan Islam

Tatkala siang meninggalkan peraduannya, maka malampun akan datang menempati singgasananya. Dan bila sekarang panas matahari bersinar membakar dedaunan dan bebijian, pasti lain waktu bebijian dan dedaunan akan tumbuh subur diguyur oleh deras hujan.. Memang, demikianlah kehidupan yang selalu berputar silih berganti . Ada siang ada malam, ada panas dan ada hujan, yang telah diciptakan secara berpasang-pasang. Begitupun dengan kehidupan manusia, yang telah tercipta dengan adanya dua jenis yang berlawanan. Yaitu “laki-laki” atau “pria” dan “wanita” atau “perempuan”.
Sudah menjadi kodrat dari Sang kuasa, bahwa wanita adalah tercipta sebagai pendamping pria. Dan hal itu dapat terwujud bila antara pria dan wanita disatukan dalam suatu ikatan pernikahan yang sesuai dengan tatanan Syari’at Islam.
Sebuah pernikahan tidaklah dapat begitu saja dilansungkan tanpa adanya penentuan calon pendamping hidup oleh sang pria. Padahal tidaklah mudah bagi kaum pria untuk bisa memilih dan menentukannya. Karena dari sekian juta jiwa wanita yang tercipta di dunia ini dengan segenap daya tarik yang dimilikinya, hanyalah salah satu (keculi adanya poligami) diantara mereka yang akan terpilih dan menjadi pendampingnya.
Seyogyanya tidaklah pada sembarang wanita, seorang muslim menentukan pilihan sebagai pendamping hidupnya. Islam telah menetapkan batasan-batasan tertentu bagi seorang muslim untuk memilih wanita yang ideal sebagai pasangannya.

WANITA IDEAL DALAM PANDANGN ISLAM
Memilih istri yang cocok untuk dirinya adalah merupakan suatu keharusan bagi muslim, karena hal ini sebagai kunci keberhasilan dalam berumah tangga Disebabkan oleh banyak faktor, seorang pria bisa tertarik untuk menikahi seorang wanita. Diantaranya adalah faktor kekayaan, kecantikan, derajat/pangkat, keturunan, budi pekerti dan keagamaan. Dari sekian banyak faktor tersebut, hanyalah agama dan budi pekerti sebagai pilihan utama dalam diri seorang wanita. Karena sesungguhnya kecantikan itu bisa pudar dimakan usia, sedangkan harta ataupun tahta akan bisa lenyap oleh kondisi yang memporak porandakannya.
Tidaklah berarti bila suatu ketinggian derajat dan keluhuran nasab tanpa disertai dengan kemuliaan akhlaq dan agama yang kuat. Ini adalah suatu argumen mengapa agama dan akhlaq lebih diutamakan dalam memilih seorang wanita.
Demikian ini sudah terbukti bahwa dua faktor itulah yang akan mengantarkan pada ketenangan hati dan ketentraman jiwa menuju hiup bahagia dan ridloNya.

NADHOR KEPADA CALON ISTRI
Pernikahan itu adalah perbuatan yang sakral, dilakukan untuk menyatukan dua jenis dan dua karakter yang berbeda. Oleh karenanya Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar melihat, mengamati dan meneliti kepada wanita yang akan dijadikan istri. Dan itu adalah merupakan sunnah Nabi yang telah dijadikan sebagai peradaban Islam.
Diciptakan seorang wanita dengan menyandang berbagai daya tarik dan keistimewaan pada dirinya. Begitu pula dengan seorang pria. Diantara keduanya saling memiliki keistimewaan dan daya tarik yang kadang berbeda supaya dapat saling melengkapi diantara keduanya.
Tidaklah merupakan suatu perbuatan dosa jika seorang pria melakukan nadhor kepada ajnabiyyah yang akan dijadikan istri baginya. Bahkan sebagian dari ulama’ sholih tidak akan menikahkan anak perempuannya sebelum adanya nadhor dari pria yang meminang untuk putrinya. Demikian ini bertujuan untuk mencari kecocokan diantara kedua belah pihak dalam menghadapi kehidupan berumah tangga nantinya dan supaya tidak menimbulkan penyesalan dikemudian hari.
Tapi syari’at Islam telah memberikan batasan dalam nadhor tersebut. Islam hanya memperbolehkan wajah dan kedua telapak tangan calon istri untuk dilihat. Dengan melihat wajah akan terlihat paras si wanita, dan dengan melihat kedua telapak tangan akan menunjukkan bentuk tubuhnya. Dan bila nadhor itu dilakukan pada selain batas yang telah ditentukan dalam Islam maka itu termasuk ajaran syaithon yang telah dibudayakan oleh orang-orang kafir.
Dan apabila seorang pria tidak dapat melakukan nadhor dengan sendirinya kepada calon istri, maka hendaknya ia memerintahkan kepada seorang wanita yang telah dipercaya untuk melakukannya, yang diharapkan wanita ini nantinya akan memberikan infomasi kepadanya tentang sifat-sifat calon istrinya tersebut. Karena Rasulullah sendiri pernah memerintahkan kepada shahabat Ummu Sulaim untuk melakukan nadhor kepada seorang wanita. Rosulullah bersabda, “lihatlah pada tumitnya lalu ciumlah bau mulutnya”.
Namun sayang sungguh sayang, kebanyakan dari masyarakat masa kini telah meninggalkan peradaban islam yang disunnahkan ini. Mereka berasumsi bahwa melakukan nadhor itu adalah perbuatan orang-orang bodoh. Karena bila nadhor itu sudah dilakukan dan ternyata tidak diketemukan kecocokan diantara kedua belah pihak maka diantara satu dan lainnya akan mempergunjingkan sisi negatif dari wanita yang di nadhornya, kemudian hal ini dapat menyebabkan keengganan pria lain untuk memilih wanita tersebut. Wana’udzu billahi min syarri dzalik. Sumber : http://langitan.net