Kamis, 30 September 2010

ISTRI PENENTU KESUKSESAN

Al-Usrah (keluarga) merupakan cikal-bakal masyarakat dan embrio generasi penerus. Artinya, masyararat dan generasi yang baik hanya akan terwujud bila setiap keluarga yang ada di dalamnya mengejewantahkan nilai dan tatanan kebaikan pada kesehariannya. Sebaik apa pun aturan dan sistem yang disiapkan pada suatu komunitas tanpa adanya bibit-bibit unggul yang disiapkan oleh madrasah keluarga, maka hanya akan menjadi barang mati dan tidak berarti sedikit pun. Sebaliknya, bila setiap madrasah keluarga mampu mendidik-ajarkan nilai dan budi pekerti luhur kepada peserta didiknya, maka mereka akan mampu merubah bahkan merombak keterbelakangan menjadi kemajuan, keburukan menjadi kebaikan dan kerendahan menjadi keluhuran.

Dan untuk mewujudkan keluarga yang berkemampuan mulia tersebut, tentu diperlukan keria sama solid yang saling mengisi dan melengkapi. Keduanya harus rela hati bersatu padu dan bahu membahu. Suami tidak akan mampu mewujudkannya tanpa peran serta isteri, demikian pula isteri, tanpa bantuan dan pertolongan suami.

Dinul Islam telah penuh dengan khazanah dan sejarah yang dapat dijadikan uswah hasanah di kancah kehidupan ini, tak terkecuali kehidupan keluarga. Setelah bulan suci Ramadhan yang penuh hikmah, di hadapan kita kembali disuguhkan bulan yang tidak kalah indahnya, yakni bulan-bulan haji. Berbicara tentang haji, ingatan kita tertuju kepada pendiri Baitullah, Nabi Ibrahim as. Dan sebagai keluarga muslim-mukmin sudah sepatutnya bila perjalanan keluarga Ibrahim as kita jadikan uswah dalam menata-rapikan tatanan kehidupan rumah tangga.

Mengelola Konflik
Kehidupan dunia bagaikan lautan, terkadang surut terkadang pasang. Bagikan siang dan malam, terkadang terang-benderang terkadang gelap-pekat. Itulah sunnatullah yang harus dihadapi dengan lapang dada dan husnudzdzon kepada-Nya. Pada hakikatnya semua problem amatlah berguna bagi orang yang memahaminya sebagai tantangan bukan sebagai halangan yang memutus-asakan. Seorang muslim-mukmin pasti memilih bersikap positive thinking ketika menghadapi suatu masalah dan menyediakan diri mencari celah dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Hal itu semata didasarkan pada keyakinannya bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Alam Nasyrah (94): 4 -5) dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah (2): 216). Dengan demikian seorang muslim-mukmin pasti menemukan jalan keluar dari berbagai problemnya, sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. ” (QS. Ath-Thalaaq (65): 2)

Setiap manusia dalam hidup ini pasti menghadapi masalah, tak terkecuali para nabi. Bahkan para nabi mendapatkan ujian terberat. Namun karena kedekatan dan husnudzdzonnya kepada Allah mereka mampu keluar darinya dengan baik nan cantik.

Nabi Ibrahim as dan ibunda Sarah ra dalam perjalanan rumah tangganya harus menghadapi kenyataan belum punya keturunan. Padahal umur keduanya sudah udzur. Menghadapi kenyataan seperti itu keduanya tidak larut didalamnya, tetapi bermusyawarah guna mencari jalan keluar terbaik. Dan akhirnya diperoleh permufakatan bahwa Ibunda Sarah memperkenankan Nabi Ibrahim as menikahi ibunda Hajar ra. Sesiap apa pun Ibunda Sarah ra, tetap saja dia harus bergelut dengan rasa cemburunya ketika mengetahui bahwa Ibunda Hajar telah hamil. Untuk membantu memadamkan kecemburuaannya, Nabi Ibrahim as menjauhkan jarak di antara keduanya dan atas perintah Allah, beliau menempatkan ibunda Hajar yang waktu itu sudah menimang bayi Ismail di padang Sahara yang jauh dari manusia dan hanya dibekali sedikit buah kurma dan air. Permasalahan tidak berhenti di sini, justeru sekarang yang harus mengahapi masalah adalah ibunda Hajar dengan bayi mungilnya. Namun lagi-lagi keluarga Nabi Ibrahim as mampu melewatinya. Dengan gigih dan tentu saja bersandarkan kepada Allah, mencari air tanpa mengenal lelah, berlari ke sana kemari, bolak-bail Shafa-Marwah hingga akhirnya menemukan sumber air yang kemudian terkenal dengan sumur Zam-Zam.

Inilah uswah dalam mengelola konflik yang membuahkan hasil sangat gemilang. Kisah ini nyata dan sepatutnya dijadikan kenyataan oleh setiap keluarga muslim dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan senantiasa akan muncul di dalam kehidupan rumah tangganya, agar memperoleh dan meraih kesuksesan. Insya Allah.

Sabar, Berupaya Maksimal dan Betawakkal
Dalam hidup ini tidak ada hasil tanpa didahului dengan upaya dan usaha terlebih dahulu. Dan bahwasanya seorang tidak memperoleh selain apa yang di usahakannya (QS. An-Najm (53): 39). Namun sebaik muslim-mukmin yang yakin pasti memahami bahwa pada kenyataannya, hasil tidak sepenuhnya bisa diramalkan seratus persen. Karenanya, dalam Dinul Islam selain berupaya dan berusaha bekerja secara maksimal, seseorang juga meniatkannya untuk mencari ridha Allah Swt (ibadah). Allah-lah yang Mahamengetahui dan Mahakuasa mendatangkan hasil. Itulah yang diteladankan Ibunda Hajar ra. Dia menentukan prioritas dan upaya yang jelas, yaitu mencari air, bukan yang lain. Kemudian ia berlari-lari bolak-balik antara Shafa dan Marwah dalam upaya maksimalnya mendapatkan air. Namun pada akhirnya air itu diperoleh di dekat Ka’bah, bukan di Shafa atau Marwah.

Adalah maklum bahwa seharusnya yang menjadi prioritas ialah terimplemantasikannya ajaran-ajaran luhur dalam kehidupan rumah tanggah kita. Suami mewujudkannya dalam mencari dan menjalani pekerjaan yang halal. Bersabar dan berupaya maksimal di dalamnya. Dan tidak lupa senantiasa menambah keilmuwan diniahnya untuk menunjang taqarubnya kepada Allah.

Sementara itu sang isteri mewujudkannya dalam pengabdian tulusnya menjaga suasana rumah agar tetap terhiasi dengan aneka keindahan dan kedamaian yang tidak bertentangan dengan peraturan agama. Bersama-sama dengan sang suami menjaga dan mengarahkan putera-puterinya agar senantiasa berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jangan sampai mereka ikut-ikutan dengan polah tingkah para remaja yang terjerumus dalam propaganda budaya yang amoral. Mulai dari sikap, tingkah laku, cara berpakaian dan pergaulan mereka.

Marilah kita meyakini dan meyakinkan kepada keluarga bahwa kaum muslimin mempunyai dua pusaka (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh niscaya kebahagian akan kita genggam di tangan. Tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Jangan sampai putera-puteri kita tidak percaya diri dengan jaminan tersebut, sehingga mereka memilih mengikuti cara dan pandangan hidup orang-orang yang jauh dari sentuhan keimanan, yang diantaranya ialah berpakaian tidak sesuai dengan aturan Islam. Jika mau berbusana muslim pun mereka lebih memilih model yang dicontohkan oleh para selebriti dari pada model yang sesuai dengan jati diri dan dan citra diri yang islami. Bahkan kalangan yang dianggap mempunyai pengetahuan agama yang cukup pun (para remaja puteri yang belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam), tak mau ketinggalan dalam hal ini. Seakan-akan mereka khawatir tergolong sebagai kaum yang ketinggalan jaman. Pergaulan bebas (takhlid) antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi kebanggaan. Anehnya ada sebagian dari para orang tua merasa bahagia bila anak-anak perempuannya pandai bergaul dengan teman laki-laki mereka. Dan merasa khawatir bila mereka terkesan malu dan tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu.

Akibatnya bisa kita saksikan, betapa banyak pemuda-pemudi (terutama mahasiswa dan mahasiswi) yang terjerumus pada perzinaan, bahkan tidak sedikit yang merekam perbuatan nista tersebut dengan kamera elektronik yang sekarang ini mudah diperoleh dan dipergunakan oleh siapa pun dan untuk apa pun. Mengerikan sekaligus menjijikkan, namun merupakan kenyataan.

Kenapa semua itu terjadi?. Wallahu A ‘lam. Tapi menurut hemat penulis, pada dasarnya yang mereka inginkan ialah mencari dan meraih kebahagiaan. Di sinilah semestinya tugas berat orang tua dalam artian yang khusus (bapak ibu) dan orang tua dalam artian yang lebih luas (ulama, pemimpin, cendekiawan, pendidik pengajar dan pengusaha). Para orang tua tersebut harus mengajarkan dan memberi teladan bahwa bagi orang yang beriman, bahwa kebahagiaan hanya dapat diraih dengan usaha maksimal disertai tawakkal dalam menjalani semua perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan sabar menghadapi segala bentuk godaan dan fitnah yang semakin marak akhir-akhir ini. Jujur saja, ambil salah satu contoh, dewasa ini kita sangat kesulitan mencari orang tua yang bisa dijadikan panutan. Sekarang ini kita sulit menentukan sipakah ulama yang benar-benar ulama. Yang sering kita jumpai ialah orang-orang yang hanya pandai bersilat lidah namun miskin amal (khuthoba) dan jarang sekali kita bertemu dengan orang-orang yang berilmu, mengamalkannya dan takut kepada Allah Swt (ulama).

Jadi, marilah kita tradisi-biasakan memberikan teladan bekeria keras, berusaha gigih dan berupaya maksimal untuk kemudian bertawakkal kepada Allah tentang hasil yang akan dicapai, niscaya Allah akan memberikan hasil yang terbaik kepada kita. Janganlah kita menjadi contoh yang buruk, yakni mendambakan kesuksesan besar tapi miskin usaha dan upaya dan lebih memilih jalan pintas daripada jalan lurus yang telah terbukti dapat membahagiakan semua orang, yaitu jalan Allah dan Rasul-Nya:

“Tidak, barang siapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan, baginya pahala pada Tuhannya. Tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada mereka berduka cita. ” (QS. Al-Baqarah (2): 112)

Berdoa
Salah satu amalan penting yang sering diabaikan oleh sebagian besar kaum
muslimin dalam membina rumah tangga ialah berdoa. Sebagai orang yang beriman seharusnya meyakini bahwa doa adalah salah satu dari sekian faktor keberhasilan seseorang. Doa adalah sejajar dengan usaha, bahkan lebih utama. Bahkan Allah telah menyatakan bahwa salah satu satu sifat ibaadurrrahman (para hamba kekasih Allah) ialah orang yang istiqamah mendokan istri dan keluarganya, sebagaimana difirmankan-Nya: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri yang kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan (25): 74).

Karenanya, dalam rangka menciptakan suasana rumah tangga idaman sudah saatnya setiap kaum muslimin mentradisikan saling mendoakan keluarganya; suami mendoakan isteri, isteri mendokan suami, orang tua mendoakan anak dan tentu saja anak mendoakan orang tua. Doa merupakan pengakuan tulus akan kekurangan dan keterbatasan seorang hamba dan kesadarannya yang tinggi terhadap ke-Mahasempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh sangatlah tidak patut jika kita sebagai makhluk yang lemah nan bodoh ini merasa mampu mengawasi, melindungi, mengarahkan dan menata keluarga dan enggan untuk memohon pertolongan kepada Dzat Yang Mahasempurna. Bukankah Khalilullah, Ibrahim as telah memberikan uswah dengan doa indahnya yang diabadikan dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim as berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak-cucuku dari menyembah berhala-herhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Mahamengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Mahamendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunanlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim (14): 35-41). Wallahu A ‘lam bishshowab. (Abu Kafa) www.langitan.net

KEHANCURAN NEGERI MAKIN DEKAT

Semua kehidupan di dunia ini pasti akan ada akhirnya. Karena dunia itu bersifat fana dan sementara. Semua pasti akan musnah, semuanya pasti akan berakhir. Hanya kehidupan akhirat yang akan kekal dan abadi. Begitu pula negara. Sekuat apapun negara itu, sepandai-pandainya seorang pemimpin dalam sebuah negara, pasti suatu saat negara itu akan berakhir, kemudian diganti dengan kaum-kaum berikutnya dan negara-negara yang baru.
“Itu adalah sebahagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.” (Huud: 100).
Berikut ini beberapa tanda dekatnya keruntuhan atau kehan-curan sebuah negara dari ayat-ayat Al Quran untuk kita jadikan telaah dan renungan. Seberapa cocokkah peristiwa-peristiwa yang diceritakan Al Quran ini dengan sederetan peristiwa yang menimpa Bangsa kita ini:

Penguasa Yang Dhalim
Sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam suatu negeri senan-tiasa ada penguasa-penguasa jahat yang suka membikin makar. “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memper-dayakan melainkan diri-nya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (Al-An’aam: 123).
Dengan jabatan yang disan-dangnya, para penguasa itu membuat aturan-aturan yang menguntungkan diri dan keluarganya, walaupun kadang-kadang harus mengorbankan rakyat. Aturan monopoli, proteksi, tataniaga dipakai sebagai alasan untuk menyedot keuntunan pribadi sebesar-besarnya. Sedangkan untuk merea-lisasikan keinginannya, tidak segan-segan para penguasa jahat itu melakukan penggusuran, pembu-nuhan, pemberangusan dengan bungkus demi pembangunan dan kebaikan nasional.
“…..mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anakmu yang laki-laki dan mem-biarkan hidup anakmu yang perempuan…” (Al-Baqarah: 49).
Untuk mengamankan posi-sinya, penguasa jahat itu membentuk tentara yang tangguh serta benteng-benteng yang kokoh.
“dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.” (Al-Fajr: 10-12).
Bila terdapat penguasa dzalim yang menindas rakyat dan terjadi pemusatan kekuasaan yang menyengsarakan wilayah regional, maka saat itulah dekatnya negeri itu dengan hukuman dari Allah SWT.
“…maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka, mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman…” (Al-Hasyr: 2).
“Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya….” (Al A’raf: 136-137)

Orang Kaya yang Durhaka
Bila orang-orang kaya dalam sebuah negeri mulai mengingkari ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya negeri itu mulai memasuki usia tua. Orang-orang kayanya hanya membanggakan banyaknya harta yang ditumpuk serta keturunan-keturunannya. Tidak sedikitpun mereka memikirkan nasib orang-orang miskin yang menderita di sekelilingnya.
Mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.” (Saba: 35).
Peringatan dari para ulama yang bersih dan ikhlas, bagi orang-orang kaya ini malah menjadi gangguan yang harus dising-kirkan.
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’” (Saba: 34).
Kalaupun mereka mengeluarkan harta untuk kerja sosial, maka harta itu diperoleh dari memeras harta rakyat juga. Bahkan peristiwa pemberian sumbangan yang dilakukannya harus dipublikasikan ke seluruh penjuru negeri. Padahal jumlah harta yang dia berikan kepada orang-orang miskin bisa jadi tidak ada setengah persen dari keseluruhan hartanya. Bila orang-orang kaya dalam sebuah negeri sudah melakukan kedurhakaan semacam itu, maka balasan dari Allah akan turun kepada negeri itu.
“Dan jika Kami hendak mem-binasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta`ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Israa: 16).
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada ia diami (lagi) sesudah mereka; kecuali sebahagian kecil…” (Al-Qashash: 58).

Mengusir Orang-Orang Salih
Keberadaan orang-orang shalih di sekitar penguasa atau masya-rakat yang jahil dirasakan seperti duri yang menusuk daging tubuhnya. Sehingga penguasa atau masyarakat jahil itu merasa gerah dan marah, kemudian berupaya keras mengeluarkan duri itu dari dalam tubuhnya.
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-Rasul mereka, Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami…” (Ibrahim: 13).
Bila penguasa atau masyarakat sudah berani mengusir orang-orang shalih atau mengisolasi mereka, maka sesungguhnya negeri itu sangat dekat dengan datangnya kehancuran.
“….Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, Kami pasti akan membinasakan orang-orang dzalim itu, dan Kami pasti akan menem-patkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka…” (Ibrahim: 13-14).
“Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang penolong pun bagi mereka.” (Muhammad: 13).

Masyarakat yang Suka Bermaksiat dan Ingkar Nikmat
Adakalanya, membanjirnya berbagai kemudahan dan kenikmatan hidup dalam sebuah negeri tidak selalu menjadikan penduduknya bisa bersyukur. Alamnya yang subur, laut yang luas dan kaya, barang tambang yang melimpah, margasatwa yang beraneka ragam; semua itu malah membuat mereka takabur. Mereka eksploitasi habis-habisan segala kekayaan itu hanya untuk dipakai berfoya-foya dan berbuat maksiat.
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezqinya datang kepadanya melimpah-ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah… (An-Nahl: 112).
Gaya hidup masyarakat yang tidak bisa bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala menjadi hedonis (foya-foya), konsumeris (boros) dan akhirnya menjurus kepada kehidupan yang serba permissive (serba boleh). Kemaksiatan menjalar di mana-mana dan dianggap sebagai sebuah kewajaran, hukum rimba sudah menjadi ketentuan dan saling memeras telah mentradisi.
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang dzalim…” (Al-Anbiyaa: 11).
Bila kondisi masyarakat telah separah itu, maka saat-saat kehancuran negeri itu telah dekat.
“…karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An-Nahl: 112).
“Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang men-durhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.” (Ath-Thalaq: 8).

Terjadinya Penyimpangan Seksual
Deviasi seksual (penyimpangan seksual) bisa terjadi bila seseorang menjadi budak dari syahwatnya. Segala cara dipakai untuk memenuhi dorongan syahwatnya yang menggebu-gebu. Di antara bentuk-bentuk deviasi seksual adalah lesbian, homoseks, free seks, prostitusi dan yang lain-lain. Peristiwa deviasi seksual pernah terjadi pada masa Nabi Luth, yaitu berhadapan dengan kaumnya yang mengidap penyakit homoseksual.
“Nabi Luth berkata: ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteri (negeri)ku! Mereka lebih suci bagimu, maka bertaqwalah kepada Allah…’” (Huud: 78).
“Mereka menjawab: ‘Sesung-guhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.’” (Huud: 79).
Bila deviasi seksual telah menjamur bahkan telah dilegalkan oleh hukum dan dilindungi masyarakat, maka saat-saat kehancuran negeri itu telah dekat.
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (Huud: 82).

Hilangnya Amar Maruf Nahi Munkar
Bila tidak ada lagi amar maruf nahi munkar dalam sebuah negeri, maka itu adalah tanda akan turunnya adzab Allah SWT kepada seluruh penduduknya. Tidak adanya amar maruf nahi munkar bisa dikarenakan banyak sebab. Di antaranya, manusia sudah terlanjur senang bergelimang dosa dan menganggap aneh perbuatan yang baik. Sehingga perbuatan maruf menjadi sesuatu yang janggal dalam kehidupan, sebaliknya perbuatan yang munkar meru-pakan tradisi yang digemari. Bisa juga manusia meninggalkan beramar maruf nahi munkar karena takut akibat yang bakal ditim-bulkannya bisa mengancam jiwa dan keluarganya. Bisa jadi dia akan diintimidasi, dikucilkan, dimusuhi, dicekal, dipenjara, diputus mata-pencahariannya; bahkan sampai dibunuh. Sehingga manusia enggan melakukan amar maruf nahi munkar. Jika amar maruf nahi munkar telah hilang dari sebuah negeri, tidak ada lagi suasana dialogis dan kompromi, semua masalah diselesaikan dengan tekanan dan kekerasan; maka sudah dekat
kehancuran negeri tersebut.
“Dan Kami tidak membi-nasakan seuatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan; untuk menjadi peringatan. Dan Kami sekali-kali tidak berlaku zalim.” (Asy Syu’ara: 208-209).
Wallahu a’lam (Wa Islama Online).www.langitan.net

PACARAN ISLAMI...

a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejawantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentleman atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemuan langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. www.langitan.net

Jumat, 24 September 2010

TERAPI AMBISI

Perasaan selalu ingin memiliki sesuatu yang lebih, tamak serta ambisi dalam hal-hal yang berbau duniawi memang sudah menjadi sifat dan tabiat manusia. Sehingga akan memerlukan penanganan yang ekstra untuk bisa mengendalikan dua watak tersebut. Siapapun orangnya pasti memiliki keduanya. Namun kadar dan efek yang ditimbulkan pasti akan sangat bervariasi tergantung kemampuan orang tersebut dalam mengendalikan dan meredam keganasan dua virus yang bisa mematikan jiwa tersebut. Akibat dari yang ditimbulkan oleh keduannya sangatlah fatal dan dahsyat. Kemampuannya yang bisa menjadi mesin penghancur tatanan kehidupan manusia di dunia dan akherat sangat menakutkan sekali. Dari sinilah Imam Ghozali kemudian memberikan resep terapi kepada kita agar bisa memproteksi atau minimal mengontrol keduanya agar tidak bisa berkembang biak di dalam kehidupan ini.

Untuk melawan kedua virus ini sebenarnya manusia cukup mempunyai satu penangkal yang pasti sangat manjur dan mujarab yaitu qona’ah (neriman) serta percaya diri sepenuhnya kepada Alloh bahwa semua rizki mahluq hidup dimuka bumi ini sudah diatur oleh-Nya. Namun untuk mendapatkan obat itu manusia diharuskan melakukan beberapa hal. Setidaknya ada tiga jalur yang harus ditempuh agar bisa menghindari atau mengkarantina penyakit hati ini.

Yaitu : kesabaran (as-shobru), pengatahuan (al-ilmu) dan pengamalan (al-‘amal). Dalam merealisasikan ketiga hal diatas ada lima jalan yang harus dilalui manusia. Pertama : selalu bersikap ekonomis dan bijak dalam segala penggunaan harta yang dimiliki. Setiap orang yang ingin memiliki keagungan qona’ah maka hal pertama yang harus dilakukan adalah sebisa mungkin menekan pembelanjaan duniawinya dan menggunakan hartanya hanya untuk keperluan yang pasti dan sangat dibutuhkannya. Artinya ketika dia hanya hidup sendirian (tidak punya tanggungan keluarga) dan sudah merasa cukup dengan satu potong baju saja, maka dia tidak perlu mempunyai dua potong baju atau lebih. Dan bila sudah berkeluarga maka keluarganya juga hanya diberi sebatas apa yang dibutuhkan saja. Tidak lebih. Karena manusia yang terlalu royal dan boros dalam pembelanjaan harta dia akan sangat sulit memiliki perasaan qona’ah. Dan untuk menghindari itu manusia harus selalu melakukan perhitungan dan perencanaan yang matang setiap kali akan melakukan penggunaan harta. Sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Rosululloh agar umatnya selalu melakukan pengaturan dalam pengeluaran sampai-sampai beliau mengibaratkan bahwa “At Tadbiru nifsul ma’isyah” (perencanaan belanja adalah separuh dari kehidupan).

Kedua : ketika di suatu saat manusia dalam kondisi yang berkecukupan dan memiliki kelonggaran ma’isyah dia tidak perlu merasa bingung untuk memikirkan kebutuhannya di hari selanjutnya serta tidak perlu banyak berhayal untuk kehidupannya di hari yang akan datang. Dia harus tetap dan selalu memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa untuk hari esok Alloh telah mempersiapkan rizkinya. Sehingga harta yang dia miliki akan selalu dibelanjakan dijalan Alloh tanpa merasa takut miskin di hari berikutnya. Dalam lubuk hatinya terancap keyakinan bahwa Alloh yang menjadikan mahluq di muka bumi ini, maka Dialah yang bertanggung jawab akan kelangsungan hidupnya (rizqinya). Orang yang memiliki kegemaran memupuk kekayaannya pada hakekatnya mereka itu tidak percaya akan janji Alloh atas rizkinya setiap saat. Dan dalam hatinya sudah diracuni syetan dengan perasaan takut miskin dikemudian hari. Sehingga dia akan terjangkiti sifat ambisi menumpuk hartanya dengan dalih untuk persiapan hari esok tanpa mau menggunakannya dijalan Alloh.

Ketiga : manusia harus mengetahui kalau qona’ah akan selalu memberikan kemulyaan baginya sedangkan tamak dan ambisi akan selalu menyeret dirinya masuk kedalam lembah kehinaan dan derita kepayahan. Bila manusia telah menyadari akan hal tersebut dia akan selalu termotivasi untuk selalu bersifat qona’ah. Manusia yang telah banyak diliputi perasaan tamak dan ambisi mereka akan tidak bisa melepaskan diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitarnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan posisi manusia tersebut akan sulit atau bahkan tidak mungkin mejalankan misi Alloh yaitu mengajak umat manusia ke jalan kebajikan. Karena orang sudah memiliki ikatan kebutuhan kepada orang lain cenderung memiliki sifat mudahanah (tidak memiliki kecemburuan agama dan rela melihat orang lain melakukan kedurhakaan). Sebaliknya orang yang mempunyai sifat qona’ah akan merasa selalu merdeka dan jauh dari intervensi orang lain atas kehidupannya.

Keempat : banyak melakukan kajian dan telaah atas kejadian-kejadian orang-orang terdahulu kemudian membanding satu dengan yang lainnya. Yakni kembali membuka perjalanan sejarah bagaimana kehidupan orang-orang Yahudi dan Nashroni yang memiliki hobi berfoya-foya dan menghamburkan harta bendanya dan berakhir dengan adzab dari Alloh dan juga mengangan-angan bagaimana kehidupan para Nabi, Waliyulloh, Khulafa’ur Rosyidin serta para sahabat Nabi yang serba terbatas dan banyak merasakan kesusahan guna menjauhkan diri dari kotoran dunia namun akhirnya semua berbuah kebahagiaan yang tidak terbatas. Dari kedua sisi kehidupan tersebut kemudian manusia harus memilih antara yang berujung kesengsaraan atau kebahagian.

Dengan mempelajari kembali kisah-kisah mereka maka manusia tidak akan lagi merasakan qona’ah sebagai pekerjaan yang hanya menawarkan kesengasaraan saja. Dan dalam hatinya akan tertanam kesimpulan bahwa berlebih-lebihan dalam urusan perut itu tidak jauh beda dengan seekor keledai, terlalu larut dalam urusan wanita berarti tidak lebih baik dari pada seekor babi (celeng), dan jor-joran dalam berpakaian dan perhiasan sama halnya ia telah banyak meniru kelakuan orang Yahudi dan Nashroni sedangkan menerima dan ikhlas dengan apa adanya maka selayaknya ia disejajarkan dengan kedudukan para Nabi dan Wali.

Kelima : betul-betul memahami bahwa dalam memupuk harta benda akan bisa berakibat memiliki rasa kekhawatiran yang sangat berlebihan padahal sebenarnya tidak perlu dialaminya. Karena sudah bukan hal yang rahasia kalau seseorang yang banyak memiliki harta maka ia akan banyak mempunyai perasaan khawatir akan kehilangan, dirampok, terkena musibah seperti banjir, kebakaran dan sebagainya. Bahkan yang sangat mengerikan adalah hartanya tersebut bisa menjadi tirai penghalang untuk mereguk kenikmatan di sorga. Dan kalaupun ia bisa menggunakan hartanya dijalan Alloh maka
untuk masuk sorga kelak dia harus berada di antrean paling akhir. Tak tanggung-tanggung di padang mahsyar nanti dia harus menanti indahnya sorga sampai 500 tahun dari para orang-orang yang tak punya harta benda.

Agama Islam telah menggariskan konsep agar kita tidak terlalu terbuai memperbanyak harta sebagaimana yang pernah dipesankan oleh Rosululloh kepada shohabat Abu Dzarrin bahwa dalam urusan dunia jangan sekali-kali dia melihat orang yang berada di atasnya.

Karena sudah menjadi kebiasaan manusia kalau dia melihat orang lain memiliki banyak kelebihan materi dia selalu ingin lebih dari dia. Maka langkah aman untuk menghilangkan hal itu adalah untuk urusan akherat (ibadah) kita harus melihat orang yang ada diatas kita. Sebaliknya untuk masalah dunia kita harus melihat orang lain dibawah kita.

Yang tak kalah pentingnya adalah kita harus selalu mengingat-ingat apa yang sering diwasiatkan para ulama’ dahulu. Di saat dunia (harta benda) mengucilkan kita maka kita harus selalu melindungi diri dengan sifat qona’ah (neriman) dan menekan sekutanya perasaan keinginan yang menggebu-gebu untuk mendapatkan harta (ambisi). Namun ketika dunia memihak kepada kita maka kita harus selalu mengedepankan kebutuhan orang lain, selalu bersikap dermawan dan berbuat kebajikan serta menjauhi perasaan bakhil dan tertutup untuk orang lain yang membutuhkan. Karena apa yang digariskan oleh Alloh atas kita terkadang tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Tidak sedikit orang yang sangat berambisi memperoleh kekayaan materi tetapi ternyata Alloh malah tidak mempercayai dirinya untuk dititipi harta benda. Sehingga ketika orang tersebut tidak memiliki perisai pelindung (qona’ah) maka tidaklah hal yang mustahil dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Kita tentunya tidak ingin seperti Abu Tsa’lab yang terlalu ‘memaksa’ Rosululloh supaya dido’akan menjadi orang yang kaya agar dirinya bisa lebih memperbenyak ibadah dengan harta yang akan didapatkannya. Tetapi kenyataannya ia ternyata tidak mampu menguasai diri sehingga hartanya tidak bisa menjadikan dia sebagai rang yang mulya di sisi Alloh.

Ketika kita ditakdirkan oleh Alloh menjadi orang yang kaya maka kita harus selalu memelihara sifat dermawan. Karena inilah satu-satunya sifat jaminan yang bisa menjadikan Alloh akan selalu mempercayai kita untuk memiliki harta benda. Kita tentu tidak sedikit mendengar cerita bagaimana Alloh membuktikan ancaman tersebut terhadap orang berharta yang berlaku kikir. Tidak hanya hartanya saja yang ditarik dari dirinya. Dia juga diseret menuju adzab yang maha pedih dan dahsyat.

Disamping sebagai garansi atas kelanggengan nikmat harta yang telah dianugerahkan sifat dermawan juga bisa menjadi pelindung keberlanjutan agama Islam di muka bumi ini. Seperti halnya yang pernah didawuhkan oleh malaikat Jibril menyampaikan pesan Alloh Swt. kepada Nabi Besar Muhammad Saw. bahwa “Islam ini adalah agama yang aku ridloi. Dan tidak akan pernah ada yang bisa menjaga dan memperbaikinya kecuali hanya sifat dermawan dan berperiku baik (akhlaqul asanah). Maka mulyakanlah Islam
ini dengan keduanya sekuat tenaga kamu”. Dapat kita bayangkan betapa agung dan pentingnya kedua sifat ini sampa-sampai dijadikan oleh Alloh sebagai penjamin keberlangsungan agama Islam dan kita diperintahkan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk menjaga dan selalu memilikinya.

Sebenarnya kedermawanan tidak hanya sebatas untuk itu saja (pelindung agama). Jikalau kita ingin negara kita selalu baik dan aman sejahtera maka kedua sifat ini harus terus diupayakan supaya dimiliki semua lapisan masyarakat terlebih mereka yang berharta. Karena keduanya juga merupakan salah satu dari lima pilar vital lain yang menjadi syarat menciptakan negara yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur.

Antara lainnya adalah ilmul ulama’ (keilmuan kaum alim), ‘adlul umaro’ (keadilan aparatur pemerintah), sakho’ul aghniya’ (kedermawanan konglemerat), du’aul fuqoro’ (do’a rakyat melarat). Di saat kaum alim tidak mau aktif dengan ilmunya maka masyarakat akan semena-mena. Aparat pemerintah akan bertindak seenaknya dan ogah-ogahan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Para konglomerat akan memanfaatkan kelebihan hartanya untuk membeli semua apa yang dapat dibeli termasuk kebenaran dan keadilan tanpa mau perduli akan hak-hak si miskin. Rakyat melarat yang tidak tahan akan kehidupannya dan merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah dan orang-orang kaya pun akan mengahalalkan segala cara demi menyambung hidupnya. Maka ketika berbagai keadaan ini terakumulasi dari mana bisa mendirikan negara impian yang tentrem, ayem, gemah ripa loh jinawi?. Dan kalau negara sudah tidak beraturan apa mungkin bisa agama dijalankan dalam kehidupan sehari-hari?.

Kalau kebetulan kita mempunyai harta pada hakekatnya itu bukan dan belum menjadi milik kita seutuhnya selama belum dinafaqohkan (dibelanjakan) kepada kebaikan. Karena harta yang ada pada kita berapapun banyaknya pasti akan pergi dari kita. Dan bagi kita yang telah dipercaya Alloh dengan amanat harta kita harus memilih apakah harta yang akan mengendalikan kita, atau kita yang akan memegang kendali harta benda. Harta akan mengendalikan kita kalau kita tidak bisa berlaku proporsional terhadapnya. Dan di akherat kelak harta akan menjadi beban yang teramat berat bagi kita. Dan sebaliknya kita akan bisa menjadikan harta kita sebagai tameng dari siksa Alloh di neraka kalau semasa didunia kita bisa menjinakkan dan mengendalikannya untuk kita arahkan menuju jalan yang diridloi Alloh subhanahu wata’ala. (454) sumber: www.langitan.net

KELUARGA SAKINAH

Rumah tangga ibarat dua sisi mata uang, suatu saat ia datang dan menjelma menjadi taman surga yang membuat semua penghuninya merasa betah didalamnya, namun bisa saja ia datang sebagai tambang derita yang seolah-olah mau membunuh kita secara perlahan. Lalu bagaimana keluarga yang kita bina bisa datang dengan wajah taman surga? Inilah yang menjadi idaman setiap insan. Namun apakah mereka semuanya berhasil atau malah banyak yang menemukan jalan buntu, baik yang berkecukupan secara materi maupun yang tersorang-sorang? Apa sebenarnya rahasianya? Mengapa kebanyakan dari kita sulit mewujudkannya? Bahkan tidak jarang yang mewarnai rumah tangga adalah percekcokan dan pertengkaran yang berujung pada terancamnya keutuhan rumah tangga dengan bahasa lain yakni al-firaq (perceraian).

Allah SWT menyebutkan perjanjian untuk membangun rumah tangga sebagai perjanjian yang sangat kuat dan kokoh yaitu “mitsaqan ghalidlo”. Allah swt menyebutkan kalimat tersebut hanya dalam dua hal yaitu dalam membangun rumah tangga yang terdapat dalam surat An nisa’: 21, dan dalam membangun misi kenabian. Rosulullah SAW sendiri bersabda: “perbuatan halal yang dimurkai oleh Allah adalah perceraian.” Ada makna yang cukup tersirat dan rahasia dalam dawuh tersebut. Tidak ada satu perbuatan halal yang Allah murkai kecuali perceraian. Mengapa ini terjadi dalam perceraian? Inilah yang menjadi PR kita. Tentu masing-masing dari kita tidak ingin dimurkai sehingga rahmat Allah menjauh dari rumah kita.

Alhasil bangunan rumah tangga ibarat bangunan misi kenabian. Sehingga keluarga sakinah yang menjadi impian setiap manusia tidak mudah diwujudkan sebagaimana tidak mudahnya mewujudkan misi kenabian oleh setiap manusia. Pelu persyaratan-persyratan yang ketat dan berat. Mengapa? Karena dua persoalan ini bertujuan mewujudkan kesucian. Kesucian berpikir, mengolah hati, bertindak, dan generasi penerus umat manusia.

Makna Sakinah
Sebelum kita merintis keluarga sakinah, alangkah baiknya kita mengetahui dulu apa arti istilah tersebut. Istilah sakinah digunakan Al qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini mempunyai akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Bisa disimpulkan bahwa istilah tersebut digunakan Al qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah warahmah) di antara sesama anggotanya. Untuk mencapai itu semua, dalam bangunan rumah tangga Allah SWT telah menetapkan hak dan kewajiban.
Kita bisa meminjam istilah Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Bangunan rumah tangga harus punya AD/ART, visi dan misi yang harus sesuai rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Sebetulnya kita jangan hanya mengangalkan AD/ART yang bersifat teks atau buku, kita juga bisa meniru sosok figur yang telah berhasil mewujudkan sebuah keluarga besar yang berhasil mencetak generasi-generasi penerang alam. Dan ini tidak akan terbantahkan lagi oleh semua kaum muslimin. Figur tersebut adalah baginda Rasulullah yang berhasil membina dan membentuk keluarga sakinan dengan Sayyidah Khadijah

Wanita Lebih Berperan
Disini ada hal yang menarik untuk dikaji, khususnya bagi kaum hawa. Apa itu? Fakta berbicara bahwa Rasulullah banyak dibicarakan oleh kaum adam bahwa beliau melakukan pologami, kemudian mereka melaksanakannya dengan dalil mencontoh Rasulullah. Tapi kita harus ingat kapan Rosulullah berpoligami dan mengapa beliau melakukan hal ini? Sejarah mencatat bahwa beliau tidak berpoligami saat beliau masih berdampingan dengan Sayyidah Khadijah sampai beliau meninggal. Hal ini karena sosok Khadijah yang luar biasa, seorang istri yang benar-benar memahami jiwa dan profesi suaminya. Beliau korbankan seluruh harta bendanya untuk dakwah Rosulullah, Sehingga Rasulullah tidak pernah melupakan Khadijah walaupun sudah meninggal dan disampingnya telah ada pendamping wanita yang lain bahkan lebih dari satu. Sosok Khadijah al-Kubra ini bisa diambil uswahnya bagi wanita khususnya kaum ibu supaya sang suami tidak mudah menoleh ke lain hati.

Maka bisa disimpulkan bahwa yang paling berperan besar dalam membentuk keluarga sakinah adalah wanita. Mari kita perhatikan firman Allah SWT dalam surat Ar Ruum: 21 yang artinya: “diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan istri dari spesies kalian agar kalian merasa sakinah dengannya, dia juga menjadikan diantara kalian rasa cinta dan kasih saying. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” Dalam ayat tersebut ada kalimat “supaya kalian memperoleh atau merasakan sakinah” yang merupakan arti dari kalimat “Litaskunu”. Jadi sakinah itu dalam diri perempuan. Tapi harus diingat laki-laki harus menjaga sumber sakinah tersebut, tidak lantas mencemati dan menodainya agar sumber itu tetap terjaga, jernih dan suci, serta mengalir ke semua anggota keluarga.

Memahami Hak dan Kewajiban Sesama
Sebagai pengantar untuk membangun keluarga sakinah perlu kiranya kita harus mengetahui untuk selanjutnya mengaplikasikan hak dan kewajiban pasangan suami istri yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Hak-hak suami antara lain: suami adalah pemimpin keluarga. Dalam Al qur’an disebutkan bahwa “kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”, suami berhak dipatuhi dan tidak boleh ditentang, istri tidak boleh mensedekahkan harta atau berpuasa sunnah kecuali mendapat izin dari sang suami, suami harus dilayani dalam semua kebutuhan jasmani dan biologis kecuali kalau ada udzur, dan lain sebagainya

Adapun hak-hak istri antara lain: istri harus mendapat perlakuan yang baik sesuai dengan firman Allah yang artinya:”ciptakan hubungan yang baik dengan istrimu.” (An Nisa’: 19), istri berhak mendapatkan nafkah dari suami baik sandang, pangan maupun papan, dan lain sebagainya.
Selain sebuah keluarga harus mengetahui hak dan kewajiban, keluarga yang sakinah adalah bisa meredam emosi dan pertikaian. Rosulullah bersabda: “laki-laki yang terbaik dari umatku adalah orang yang tidak menindas keluarganya, menyayanginya dan tidak berlaku dzalim pada mereka.” Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat menghadap Rasulullah dan berkata: “ya Rasulullah, aku mempunyai seorang istri yang selalu menyambutku ketika aku datang dan menghantarkanku saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku termenung, ia sering menyapaku dengan mengatakan: ada apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan, ketahuilah bahwa rizkimu ada ditangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat maka semoga Allah menambah rasa risaumu.” Setelah mendengar cerita sahabat tersebut, Rasulullah bersabda: “sampaikan kabar gembira pada istrimu tentang surga yang sedang menunggunya! Dan katakan padanya bahwa ia temasuk salah satu pekerja Allah. Allah mencatat setiap hari baginya pahala tujuh puluh syuhada’.” (makarimul Akhlaq: 200). sumber: www.langitan.net

MANAGEMENT SYAHWAT

Artiket ini mungkin akan mengusik ketenangan “pemahaman” anda selama ini tentang hidup dan kehidupan, barangkali. Boleh jadi gelombang radiasi dari obyek bacaan yang sedang anda hadapi ini akan mengejutkan anda, lalu mengrenyitkan kening. Bahkan sengatan elektro maknetik radiasi dari obyek asing bagi anda ini akan membuat anda kaget dan sedikit tersadar. Setelah itu, harapan saya, anda tetap terjaga dalam intensitas pemikiran di sela-sela kesibukan. Bukan kembali lagi dengan bunga-bunga mimpi tidur. Semoga.


Setiap individu, tidak perduli apakah itu gugusan bintang-bintang yang tersebar dalam hamparan luas di cakrawala yang disebut great wall (tembok raksasa) dengan perkiraan luas mencapai 500 juta tahun cahaya, atau se-zaroh partikel etementer cahaya (foton) yang keberadaannya tidak dibisa diidentifikasi dalam satu waktu dengan berbagai mekanika fisika yang ada, yang memenuhi sistem hampa udara, ditakdirkan oleh Tuhan untuk dapat menjadi diri sendiri dan memperkaya kandungan jati dirinya yang tersimpan (innersial).Ini bukan sesuatu yang diasumsikan dan tidak pula hasil deduksi dari jenis manusia. Tetapi suatu kemutlakan titah Tuhan; menurut asumsi absolut Tuhan sendiri (peringatan! Kalau anda tidak faham, anggap saja kita sama-sama baru memahami), manusia atau individu di jagad raya tidak punya pilihan, walau dimungkinkan fenomena protes dan pembangkangan. Lucunya, arena dan wacana pembangkangan itu tidak bisa keluar dari dimensi “ruang-waktu”. Pembangkangan dalam lingkup ruang terkait dengan garis bujur, terpola di dalam medan tempat, dan arena yang tetap terkena hukum gravitasi. Pasti. Inilah pembangkangan horizontal secara spesifik terkait dengan maalim-maalim (identitas) syariat; ngutil, nyopet, maling. merampok, garong, sogok dan nyogok, madat, madon dan lain-lain yang mencerminkan kerendahan naluri hewaniah dan nabati.

Sedang pembangkangan dalam sekup waktu terseret oleh garis lintang. Naik bersinergi dengan kecepatan cahaya, berpetualang pada ruas jagad yang -katanya- menjebol hegemoni daya tarik bumi. Inilah pembangkangan vertikal terkait dengan struktur otak dan pengembaraan spiritual; komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan seambrek gerakan spiritual yang terobsesi oleh penyegaran dimensi ruh.

Kalau hanya sampai disitu maksimalitas individu dalam mengadakan pembangkangan, maka menurut asumsi mutlak Tuhan pembangkangan ini masih terjadi dalam wilayah kerajaan-Nya yang otomatis atas sepengetahuan dan izin Tuhan walau tidak diridoi. Bisa jadi pemberontakan itu melepaskan diri dari hukum Tuhan, kekuasaannya?

Manusia sedang dan untuk berikutnya senantiasa mencari diri mereka sendiri. Spektrum pencarian terasa menyebar (istilah kita manusia banyak keinginannya). Tuhan memperingatkan dan peringatan ini adalah haq dari titah Baginda Rosulullah SAW. bahwa segala intentitas selain Allah ta’ala adalah kosong (batil), segala gerak dan aktifitas yang melenceng dari orientasi yang ditetapkan-Nya akan mengembara dan tersesat serta tidak akan kembali (artinya segala upaya dan usaha muspro ora keno ditilik no akherate). kasihan pencarian hanya berakhir sebagai bentuk bunuh diri terselubung.

Dunia dan seisinya, termasuk kita sebagai individu diciptakan dalam kuantitas dan kualitas haq, tidak untuk permainan dan gendoyaan. Itu asumsi titah Tuhan yang ditujukan khusus makluk-maklukffya agar terserap dalam keyakinan mereka dan termanifestasikan pada keseriusan mengembang amanat dan tugas. Jadi hak untuk dunia dan seisinya. Tetapi bagi sifat-sifat wahdaniyat dan mukholafatullil khawadist-Nya, dunia dan seisinya adalah banyolan atau permainan belaka, yang bermain dan bergerak adalah Dia, Sang maha raja seru sekalian alam.

Membaca kalimat terakhir ini mungkin anda memotong, “….. Jangan memasang persepsi pada Tuhan yang konyol seperti itu, masak Tuhan bermain dan mempermainkan hidup serta kehidupan makhtuk,” tukas anda. Kalau anda memotong kalimat semacam itu saya juga menjawab, “Memangnya Tuhan itu mendapat tugas dari siapa sehingga mengharuskan Dia harus bersusah payah untuk serius dan bersungguh-sungguh segala. Bukankah mendapatkan sehelai sayap nyamuk itu sama mudahnya bagi Tuhan dengan mendapatkan jagad raya dan seisinya.”

Bukti nyata lagi untuk mendukung sementara pilihan saya bahwa dunia ini serba permainan adalah kita sering kecele dengan apa yang kita anggap tepat, benar, logis, dan pasti yaitu maraknya universitas dan perguruan tinggi, ramainya permodalan dan investasi, hiruk pikuknya promosi dan ikian, jubel dan sesaknya jalan trotoar oleh gambar dan reklame. Belum lagi aneka ragam dan bentuk kursus dan pelatihan. Dari mana dan apa motivasinya tidak jarang out put yang dirasakan (bahkan oleh pelaku sendiri) adalah nol sekian persen, kalau tidak disebut nol besar.

Energi tidak bisa Dimusnahkan
Sebagian teman mungkin akan dapat menebak ke arah mana artikel ini diharapkan. Tetapi saya tidak yakin, walaupun arah cahaya dapat dibelokkan sebagaimana disaksikan oleh para ahli fisika pada tahun 1919 saat terjadi gerhana matahari di daerah bagian Amerika Serikat, tetapi radiasi yang muncul dari manusia adalah misterius. Sulit ditebak dan lebih tergantung pada kepentingan tertentu. Makanya manusia dapat dikategorikan zone politicon (binatang cerdik); lebih dari sekedar kancil dalam dongeng masa kecil kita yang kecerdikannya terbatas pada areal sawah yang berisi buah mentimun. Sedangkan kejelekan manusia? Mohon jawab sendiri. Itulah fisika diambil dari physic, yang artinya watak (tabiat). Sepanjang manusia senantiasa mengikuti alur dan ritme dorongan nafsunya, tekanan tabiat dasarnya, maka manusia didominasi oleh karakter incertainly (tiada kepastian) tergantung ruang dan medan yang dikenai.

Itulah salah satu “kandungan” di antara kandungan-kandungan yang terselip pada tumpukan jerami materi tubuhnya. Saya menyebut energi. Anda bisa menyebut daya sebagian lagi mengatakan gaya. Dan dalam kultur kitab kuning sering menyebut hillah (rekodoyo). Tetapi diantara yang paling pas dengan onggokan tubuh wadak, struktur materi yang terjaring dalam sistem anatomi makhluk mulia ini adalah istilah syahwat. Salah seorang karib sekaligus kerabat saya, salah seorang insinyur pertanian dari sebuah Universitas yang dikelola oleh para mantan perwira Angkatan Darat, yang daripadanya saya belajar tentang wacana intercainly manusia: wong insinyur pertanian ternyata yang ditangani, dikelola, dan dari situ potensi bawaanya membawa hasil untuk pencaharian keluarga adalah hal-hal yang berbau kertas dan lem serta dunia industri kecil yang menghasilkan produk dan bergerak pada ruang kelas dan kantor. la kaget tentang pengertian syahwat yang saya sodorkan. Dalam pemahaman konvensional selama ini dan -katanya meyakinkan- semua orang juga mengatakan begitu bahwa syahwat itu spesifik untuk dorongan nafsu yang terfokus pada energi kelamin. Maka tidak salah bila timbul istilah-istilah nafsu syahwat, lemah syahwat, syahwat kecil atau syahwat luar biasa. Benar-benar jantan dan perkasa, bahkan sebagian produksi jamu melahirkan promosinya “dan bikin kuat seperti Kuku Bima,” dan yang terakhir kita masih ingat sebuah iklan di televisi yang dimainkan oleh seniwati Diah Pitaloka dengan atraksi suaranya yang “meooooong.” Coba bayangkan, dunia telah mendistorsi sebuah makna yang luas menjadi sempit. Sebuah makna yang hampir bisa dikenakan untuk kehendak naluri lantas hanya dijadikan sebuah bungkus, seperangkat lebel yang semuanya menjurus pada kebutuhan biologis pada level top screet (aurot), yaitu kebutuhan kelamin. Saya yakin sebagimana juga anda menyadari, tidak ada sesuatu yang tiba-tiba membuat seorang begitu hidup dan bersemangat dibanding dengan urusan ini. Itu bukan urusan asumsi tapi kesimpulan, bahkan firman mutlak Tuhan. Soal perempuan, di dalam Al-Quran, menempati rengking pertama dari keunggulan dan keperkasaan gravitasi yang ditimbulkannya. Setelah itu secara urut anak-anak, mas, perak, kendaraan, dan tanah pertanian.

Tetapi syahwat dalam esensi proporsional adalah keseluruhan dari kandungan dalam diri manusia. Dari situ ia dihidupkan dan dengan itu pula manusia menjalin kehidupan. Tetapi bukan satu-satunya dalam ekspresi dan manifestasinya. Sebab syahwat, energi bawaan, kandungan asal, kalau boleh -semoga tidak dimarahi oleh penemu bom atom nuklir, pencetus teori relativitas mbah albert Einsten- disebut masa (innersial). Asal peletakan makna syahwat adalah menjadi perhiasan dunia. Namun ia bisa baik sepanjang tertata, ia potensial untuk menjadikan dan mengembangkan kepribadian manusia dalam bentuk kemanusiaannya, kalau dikendalikan.

Syahwat duniawiyah adalah syahwat yang menyebar, melorot turun disebabkan oleh masa yang berada pada pengaruh medan gravitasi yang kita lihat. Saat anda melihat wanita tidak jarang konsentrasi kita menyebar. Melihat anak, rasa kasih kita pun segara turun. Melihat harta benda dan keberhasilan semanaat kita juga turun.

Anda Perlu Bukti?
Sampai di sini barangkali anda kaget ke mana arah tulisan ini, saya jawab ke arah suatu tujuan yang menjebol diterminisme otak; pengotak-kotakan otak yang sempit baik kiri atau kanan menuju pada aktualitas kejiwaan yang penuh vitalitas energik dan berorientasi pada keluruhan dan kemuliaan hidup. Yang ini berarti kita bermain dengan kecepatan cahaya (Nur Ilahiyah). Dimanakah dan bagaimanakah cahaya itu dapat kita dapatkan ? Gampang saja.

Pertama: atur pernapasan sesering mungkin. Sadari keberadaan signifikansinya pada tubuh dan proses berpikir anda. Perlu anda ingat dalam kamus tulisan ini kesadaran yang sejati adalah kesadaran yang meningkat, Dan itu tidak bisa terjadi kecuali nur ilahiyah menyertainya. Itulah kesadaran untuk bersyukur. Bersyukur bahwa nafas (ruh ) itu anugrah
Tuhan yang nilai jualnya tidak bisa ditaksir dengan materi. Hanya orang-orang yang gila secara medis sajalah yang mau dicekik supaya tidak bernafas. Melatih pernafasan, kalau hanya dibatasi demi kesehatan itu kembalinya pada nilai syahwat tingkat rendah pula. Tidak! kurang professional dari sudut kualitas kemukminan anda. Bukan berarti tidak baik, siapa bilang? Tanpa latihan yoga, meditasi, senam pernafasan dan lain-lain nama yang menjamur dewasa ini toh anda tetap sehat, fit, berenergi dan aktif sepanjang hari. Bagamana yang professional itu? Yang professional adalah bemafas dengan berzikir.
Bernafas dengan berzikir dalam teknik adalah bukan bernafas saat berdzikir. Semua orang mukmin bisa saja setiap waktu memasukkan dzikir dalam nafasnya. Tetapi teknik berzikir yang mampu mengeksploitasi nafas itu baru namanya melatih pemafasan dengan kesadaran, yang diharapkan darinya adanya kekuatan faidh (radiasi) nur ilahiah dari lafadz yang digunakan berzikir tersebut ke dalam sel-sel otak dan ke dalam struktur qalbu.

Berbicara qalbu saya teringat akan istilah Managemen Qolbu dari Bandung. sebuah nama Yayasan barangkali yang dikomandani oleh dai kondang yang dibesarkan oleh media elektronik, KH. Abdullah Gymnastiar (AA Gym). Saya usulkan agar istitah management qalbu diganti dengan management syahwat saja. Ini usul Iho. Kok dari prespektif tasawuf murni lebih pas dan mengena. Sebab struktur kolbu itu kalau diperas tenaga intinya dan dikemas dalam bingkai-bingkai retorika pidato dan ceramah akan kehilangan sifat lembabnya. la menjadi kering, sebab setiap kalimat apapun itu, sepanjang tidak lafald dzikir akan membawa serapan nur ilahiah yang ada dalam hati. Semakin banyak kalam, banyak bicara semakin terkuras isi hatinya. Untuk mengisinya tidaklah semudah kita mengisi air ke sebuah tong. Kalau hati sudah tidak berisi nur ilahiah, maka yang menguasai adalah gambar-gambar, grafik-grafik hasil proyeksi syahwat, maka yang tepat adalah management syahwat.

Alasan saya ini benar-benar mengadopsi dari fatwa raksasa sufi intelektuil, seorang rektor Al-Azhar Mesir pada abad 10 H. yaitu Syeh Abu Mawahib As-Sya’roni yang menyarikan dan merekomendasikan fatwa tersebut dari perintis-perintis tasawuf sebelum beliau. Pengalaman pribadi temyata bekerja dengan sistem qolbu. Masya Allah beratnya; peka dan sangat sensitif dengan segala gelombang-gelombang radiasi yang dipancarkan oleh medan-medan gravitasi. Ingat medan-medan gravitasi itu adalah perempuan, anak-anak, harta benda, kendaraan, hewan atau mekanis, pertanian dan perkebunan. Saya berani bertaruh dengan saya sendiri di hadapan anda bahwa saya bisa dalam beberapa menit saja mampu mengelurkan air mata anda dengan cara bermain teater dan peran melalui sentuhan doa-doa yang dikemas dalam suasana sedih dan melankolis. Itu kan permainan saja. Lihat saja sinetron.

Bekerja dengan Cahaya
Bernafas dengan berdzikir dalam teknik berarti: A. Mempersatukan segenap karsa dan rasa dalam satu nuktoh (focus) “ALLAH”, membayangkan lafalz Allah masuk dalam hati dan mensirkulasikan kesadaran di level otak atau pikiran dengan spektrum tunggal “Ketenangan dan keheningan” seraya menolak segala bentuk impus dan elektromaknetik radiasi materi dunia, apapun itu. mutlak. Sekali anda membiarkan getaran radiasi “hitam” ini menjalar dalam pikiran, maka konsekwensi logis yang anda rasakan adalah pembiasan konsentrasi dan melorot ke medan gravitasi materi tersebut sehingga mencapai kawasan melar atau menyebar, dan itu berarti rona-rona gambar duniawiyah akan mendepak lafaldz Allah yang baru saja anda tanam di jantung kolbu anda.

B. Kekuatan tanpa I’dath (pertolongan) dari aspirasi Allah SWT. Adalah kekuatan terasing, tersendiri, tanpa bantuan dan mudah patah diterjang oleh berbagai intervensi impus syahwat nafsu yang datang secara bergelombang dengan kecepatn cahaya ssttt…. .sssttttt……….ssssttttttt…….hatipun bubrah dan konsentrasi pun buyar. Karenanya para raksasa intelekktual sufi merekomendasikan bagi para pemula (murid toriqoh atau salik) untuk membayangkan saksiyah sang guru dan menyerap aspirasinya (himmahnya) persis di antara titik kelenjar pituari yaitu daerah pertengahan ujung kedua mata saat sang pemula itu mulai berzikir. Sebab sang Guru sejati itulah yang menjadi medium dari aspirasi Allah SWT. Teknik ini sekaligus memiliki tujuan praktis untuk menandingi munculnya bayangan-bayangan materi non ilahiah. Baru setelah frekuensi meningkat, radiasi dari kalimat dzikir telah menguasai medan jiwa dan merasuki segenap sel pori-pori dan keratan karsanya maka secara dloruri bayangan saksiyah guru tersebut sudah tidak diperlukan. Hal itu dikarenakan kontak langsung dengan aspirasi Allah SWT melalui kalimat dzikir telah bisa diatasi dan sangat menyenangkan (dhoup).

C. Namun agen-agen subversif iblis guna mensabotase jalannya dzikir sang hamba tersebar di setiap tarikan nafas. Hati-hati. dzikir yang cepat, mantap dan penuh energik adalah teknik lain yang direkomendasikan untuk melawan tembakan isu-isu murahan dari makluk pendengki ini. Itu semacam pemetaan pertahanan luar. Sedang yang ke dalam, suara yang keras secara hukum fisika akan memberi daya tekan serta penegangan pada suatu laju kecepatan. Itu berarti frekuensi dzikir semakin meningkat dan gelombang radiasinya akan memanjang yang pada berikutnya akan melingkari dan melilit matra kolbu.

D. Berhenti sesaat, guna menambah volume oksigen dalam kantong paru-paru melalui system pemafasan harus dimaknai sebagai menghirup ulang partikel-partikel cahaya dzikir yang tersebar dan berenang di sekitar ruang tempat dzikir. Dan secara bersamaan menyebarkan efek radiasi dzikir yang ditimbulkan di dalam tubuh ke segenap rasa dan karsa.

E. Bertahan berberapa saat atau berdiam diri dalam penikmatan syahwat llahiah, yang digambarkan bagai seekor kucing yang hendak menangkap buruannya, adalah lah satu rekomendasi hujjatui Islam Imam AI-Ghozali. Itulah makna pemampatan dan kerapatan unsur-unsur radiasi ketuhanan di dalam tubuh dan yang mengelilingi setiap utas urat saraf otak.
Kedengarannya sederhana. Memang. Tetapi sulit untuk memulainya. Disitulah persolaannya. Hanya sebuah tekad yang tinggi, kuat dan membaja sajalah yang dapat mengatasi garis start dan akhirnya mampu menjadi dan memperkaya diri dengan sumber asal kejadiannya, yakni Allah SWT. Ini soal pengincip atau rasa moralitas kerohanian. Bagaimana kualitas pencapaiannya itu sangat tergantung pada “setoran waktu” dzikir yang dipersembahkan; semakin lama, intensif dan konsisten semakin melimpah ruah cahaya yang didapati. sumber: www.langitan.net

PERTAHANKAN ISLAM SAMPAI MATI

Marilah kita bersyukur, sampai saat ini kita masih mendapat hidayah berupa keislaman dan keimanan. Kita minimal dalam sehari mengucapkan, sebanyak tujuh belas kali, itu artinya kita berdoa kepada Alloh agar ditetapkan dalam kondisi muslim sampai ajal merenggut nyawa.

Nikmat yang paling besar yang tidak ada bandinganya adalah Islam, namun kadang kala kita itu lebih mengedepankan syukur atas datangnya rizki atau anugerah-anugerah lain yang lebih kasat mata. Padahal sebenarnya tidak ada nikmat yang lebih besar dari pada nikmat Islam. Sayyidina Ali Karramallahu wajhah berkata: “Nikmat yang paripurna adalah mati dalam kondisi Islam.” Para ulama dan wali juga selalu berdoa agar mereka meninggal dalam menetapi keadaan Islam. “Wahai Tuhan yang Maha Agung dan Mulya, matikanlah kami dalam Agama Islam.”
Bahkan ada sebagian orang yang selama hidupnya selalu berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari dunia dalam kondisi Islam.”

Seseorang walaupun bergelimang dosa tapi kalau matinya menetapi Islam itu berarti harapanya masih ada. Meski ia harus terlebih dahulu merasakan api neraka dalam masa ratusan tahun sekalipun, ia pada akhirnya akan masuk surga dan langgeng di dalamnya.

Hidup di akhirat itu tidak terbatas. Kita akan hidup abadi, tapi keabadian kita di akhirat berbeda dengan kelanggegan Alloh swt. Kita langgeng karena dilanggengkan oleh-Nya, sedangkan Alloh swt. itu abadi dengan sendirinya. Sebagaimana halnya wujud kita yang memang diwujudkan (wujud ‘aridli). Sedangkan Allah swt itu wujud dengan sendirinya ( wujud dzati). Marilah kita mensyukuri nikmat Islam ini. Syukur itu ada kalangan dengan lisan (syukur billisan), hati (bil jinan) dan anggota tubuh (bil arkan).

Syukur dengan lisan berarti lisannya mengucapkan al handulillah atas segala nikmat Allah swt. Adapun syukur dengan hati, berarti hatinya merasakan syukur. Sedangkan syukur dengan anggota, artinya syukur yang dibuktikan dalam pelaksanaan sikap-sikap yang nyata, memperjuangkan Islam dengan sesungguhnya. Kalau kita mendirikan sebuah organisasi atau jam’iyah misalnya, hendaknya organisasi itu difungsikan terhadap perjuangan Islam.
Apapun status sosial seorang muslim, dia wajib memperjuangkan agama. Sebagai seorang petani sekalipun, ia harus senantiasa berupaya mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya sehari-hari. jika hal itu sudah dilakukun, maka dia patut disebut sebagai orang yang bertaqwa.

Orang yang bertaqwa, jaminannya adalah mendapatkan kemudahan, mendapatkan jalan keluar dari segala problematika dan memperoleh rizqi yang tidak terkirakan. Marilah kita selalu berusaha menjadi orang yang husnul khotimah dan berupaya menghindarkan diri dari su’ul khotimah. Hal hal yang mendorong pada su’ul khotimah kita jauhi, dan sebaliknya yang menjadikan khusnul khotimah kita upayakan dengan sekuat tenaga. Dalam hal ini ada sebuah peristiwa sejarah yang patut dijadikan i’tibar atau perlambang bagi kaum muslimin. Lihatlah yang menimpa Bal’am, seorang waliyulloh, ia dapat melihat ‘arsy dengan mudahnya, cukup dengan mendongak ke atas, ia dapat melihatnya. Ia hidup di masa Bani Israil, kaumnya nabi musa. Tak kurang dari empat ratus muridnya selalu mencatat semua nasehat-nasehatnya, namun hidupnya berakhir tragis, ia mati tidak menetapi Islam.Penyebanya ialah bermula dari orang-orang Bani Israil yang memberi iming-iming materi yang melimpah kepada Bal’am agar ia mau mendo’akan jelek kepada Nabi Musa. Karena Bal’am tidak goyah pendirianya, mereka ganti berupaya mengoda hati istrinya dengan imbalan materi yang melimpah pula. Akhirnya hati Bal’am tergoyahkan juga oleh rayuan Istri tercintanya. Disamping itu menurut suatu riwayat Bal’am semasa hidupnya dalam memeluk Agama Islam, sama sekali tidak pernah merasa bersyukur kepada Alloh swt. Di sinilah pentingnya syukur itu. sumber: www.langitan.net

Generasi yang Hancur Oleh Pornografi dan Pornoaksi

Saat ini ketika ada seorang penyanyi yang berpakaian minim dan ketat, yang mengumbar aurat ala “goyang ranjang” di televisi, banyak orang justru mendukung. anak-anak kecil kita juga tidak akan menemui kesulitan berarti untuk melihat aksi-aksi seperti ini, bahkan semakin lama kian menjadi kebiasaan. Dewasa ini memang budaya mesum yang membangkitkan birahi telah dianggap oleh sebagian masyarakat kita sebagai sesuatu yang lumrah dan jamak.

Ironisnya, jika ada sebagian masyarakat yang bersuara keras, menentang aksi-aksi tersebut dianggap kuno dan bahkan justru malah dimusuhi, dianggap tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mengerti unsur seni dan tidak demokratis.

Begitu kuatnya pengaruh pornografi dan pornoaksi, kebanyakan wanita muslimah nyaris tidak merasa takut sama sekali terhadap adzab Allah akibat pengumbaran aurat di tempat yang tidak semestinya. Allah telah berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al Ahzab;33). Rasulullah juga telah bersabda: “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim).

Wanita-wanita yang digambarkan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dalam Hadits di atas adalah sebuah contoh perbuatan yang mengandung pornoaksi dan pornografi yang akhir-akhir ini makin merajalela di Negeri ini. Sebenarnya, Islam telah memberikan batasan yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film) baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya yang mengumbar sekaligus menjual aurat. Artinya aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung, dari mulai aksi yang “biasa-biasa” saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dan lain-lain).

Indonesia sebagai negara yang terkenal relegius justru pada kenyataannya sarat dengan kebebasan pornografi dan pornoaksi. Bahkan menurut laporan Kantor Berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/07/03).
Fakta di lapangan pun membenarkan hal itu.

Di seluruh dunia, tak ada negara di mana VCD porno lebih mudah didapatkan selain di negeri ini. Demikian pula peredaran media cetak (majalah, tabloid), maupun media interaktif (internet) yang menjurus pada hal-hal yang berbau porno sekalipun tidak memajang gambar bugil di sampul depan ala majalah Playboy atau Hustler. Tayangan dan obrolan seks di radio dan televisi juga semakin “berani”. Pemberitaan tentang berbagai aktivitas seksual yang menyimpang dari syariat itu justru dibungkus dengan nada yang berkesan dirayakan. Sebuah buku yang berjudul Jakarta Under Cover telah mengejutkan banyak kalangan, bahwa ternyata Jakarta sudah tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi (menyangkut media-media porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno). Orang menduga bahwa perputaran uang yang terkait dengan “bisnis” ini sudah ratusan miliar rupiah setiap hari.

Maka tidak aneh bila pada akhirnya kondisi ini menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi generasi kita di masa kini. Hampir setiap hari ada pemberitaan dari stasiun televisi tentang aksi pemerkosaan, perselingkuhan, dan segala bentuk perbuatan yang mengandung perzinaan. Parahnya, aksi-aksi pemerkosaan itu tidak jarang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sendiri atau oleh anak kepada ibunya. Sebagian yang lain dilakukan oleh anak-anak balita yang masih di bawah umur. (Baca selengkapnya, Perzinaan Akibat Tayangan Porno, Red.).

Kaum wanita semakin mulia dan meningkat keimanannya manakala mereka menutupi auratnya. Selain itu sikap ini bisa meminimalisir terjadinya aksi-aksi kekerasan seksual terhadap mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. :sumber www.langitan.net

KELUARGA BAROKAH


Tidak sedikit orang-orang masih menilai kebahagiaan keluarga dengan ukuran harta benda. Bagi mereka keluarga yang ideal adalah keluarga yang dianugerahi materi yang melimpah. Sementara keluarga yang senantiasa kekurangan dalam aspek materi disebut keluarga non ideal. Namun, bila kita melongok kehidupan beberapa pasangan selebritis, anggapan di atas bahwa ukuran kebahagiaan keluarga adalah materi, pasti seratus persen salah.

Mengapa begitu? Kita tentu maklum bahwa kehidupan artis atau selebritis selalu identik dengan kemewahan dan melimpahnya materi. Tetapi ternyata kehidupan pasangan selebritis yang glamour ini tidak terjamin kebahagian dan kelanggengan keluarganya. Hampir tiap hari kita mendengar pasangan mereka cekcok, keharmonisannya rusak, rumah tangganya retak, dan hampir semuanya bermuara pada perceraian. Lalu beginikah yang dinamakan keluarga bahagia?
Kebahagian keluarga memang tidak bisa hanya diukur dengan banyaknya materi. Kebahagiaan itu hendaknya diukur dengan keberkahan, karena keberkahan itulah yang bisa mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan jiwa. Berikut ini sebuah kisah yang sangat menarik:

Jabir bin Abdillah ra mengisahkan, “Ketika kami sedang menggali khandaq, aku melihat Rasulullah mengalami kelaparan yang amat sangat. Lalu aku pulang menemui istriku. Aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu mempunyai sesuatu? Sungguh, aku telah melihat pada Rasulullah saw kelaparan yang sangat.’ Maka istriku mengeluarkan satu jirob (kantong) berisi gandum, dan kami mempunyai kambing betina yang gemuk. Lalu aku menyembelihnya, sementara istriku menumbuk gandum, dan ia selesai bertepatan denganku. Aku potong-potong kambing itu dalam pancinya, kemudian pergi menemui Rasulullah Saw. Istriku berkata, ‘Jangan membuka aib kita di hadapan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.’ Aku membisiki Rasulullah Saw. Aku berkata; ‘Wahai Rasulullah, kami telah menyembelih kambing kecil kami dan kami telah menumbuk satu sho’ gandum yang kami miliki. Oleh karena ini, silakan engkau datang ke rumah kami dengan beberapa orang.’ Rasulullah saw berkumandang, ‘Wahai orang-orang Khandaq, Jabir telah mempersiapkan makanan untuk kita, ayo ikut aku.’ Lalu Rasulullah Saw bersabda; ‘Jangan turunkan pancinya, dan adonannya jangan dibuat roti dulu sehingga aku datang.’ Lalu aku datang, dan Rasulullah saw juga datang mendahului orang banyak. Aku menemui istriku. Istriku berkata, ‘Bagaimana kamu tadi?’ Aku menjawab, ‘Permintaanmu telah kulakukan.’ Lalu istriku mengeluarkan adonan roti, yang kemudian diludahi dan diberkati Rasulullah Saw. Beliau pun mendatangi panci kami, lalu meludahi dan memberkatinya, kemudian bersabda, ‘Panggil tukang panggang agar membuat roti bersamaku, dan tuangi dari panci kalian dan jangan turunkan.’ Semua yang hadir ada seribu. Aku bersumpah dengan nama Allah, sungguh semuanya telah makan, sehingga mereka meninggalkannya dan pergi, dan sungguh, panci kami masih penuh seperti sedia kala, dan adonan kami masih terus dibikin roti sebagaimana semula.’” (HR Bukhari Muslim).
Hadits panjang yang diceritakan oleh Jabir ini sungguh telah menceritakan sebuah keberkahan yang tak ternilai. Hampir dapat dipastikan, bila kehidupan rumah tangga penuh berkah, niscaya rumah tangga itu menjadi sakinah dan mawaddah (tentram dan penuh cinta kasih).
Lalu apa kriteria yang membuat sebuah rumah bisa dikatakan berkah? Apakah karena bangunannya yang elok dan lokasinya yang strategis? Apakah dapat dijamin keluarga yang tinggal di dalamnya lantas bahagia dan sejahtera hidupnya?
Dalam Islam, nilai keberkahan sama sekali tak ada hubungannya dengan harta. Walaupun harta melimpah ruah, sama sekali tak menjamin datangnya keberkahan. Padahal keberkahan itulah yang bisa mendatangkan ketentraman jiwa, kebahagiaan yang sejati. Kisah yang diceritakan Jabir tentang sedikit makanan yang bisa mencukupi untuk seribu orang, adalah jawaban tentang apa arti berkah yang sebenarnya.

Rasulullah saw telah bersabda, “Hidangan makanan untuk dua orang itu mencukupi untuk tiga orang dan makanan untuk tiga orang itu cukup untuk empat orang.” (HR Bukhari)
Inilah prinsip keberkahan. Bukan besarnya jumlah yang menyebabkan datangnya keberkahan, tetapi besarnya kemanfaatan. Kisah keberkahan sahabat Jarir memang sulit bisa ditemukan di jaman sekarang, karena memperoleh keberkahan langsung dari Rasulullah saw. Tetapi pintu keberkahan itu senantiasa terbuka untuk kita, dengan cara meniatkan apa yang kita miliki, supaya memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain.

Jika di rumah ada makanan, meski tidak banyak, berusahalah memberi sedekah kepada sanak famili atau tetangga, maka rezeki itu akan selalu penuh berkah, Insya-Allah kita akan mendapat rezeki yang tidak terkira datangnya. Bila ada satu mobil, manfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan orang banyak, maka tiba-tiba mobil itu akan memberi keberkahan, sehingga memberikan manfaat jauh lebih banyak dari yang kita duga. Begitu pula dengan rumah kita, walaupun sederhana, manakala diniatkan untuk menolong orang lain dan senantiasa dipergunakan untuk kepentingan umat, maka Insya Allah rumah itu akan memberikan keberkahan bagi pemiliknya, mendatangkan kebahagian dengan cara yang tak terduga-duga. (S.hm. Dari beberapa sumber). : sumber www.langitan.net

Rabu, 08 September 2010

FORUM SILATURRAHMI Ke-XXXX

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Dengan memohon ramat dan ridho Alloh SWT, kami mengharap kehadiran Bapak / Saudara Keluarga Besar BANI KARIMIN dalam rangka TEMU WAJAH yang ke-40 yang insya Alloh akan dilaksanakan pada:
Hari : SENIN
Tanggal : 13 September 2010 /4 Syawal 1341 H
Pukul 08.00 WIB
Tempat: Bpk. MURSYID / SYUFATUL JANNAH Binti UMAR bin DALIL
desa Ketompen, Kec PAJARAKAN-PROBOLINGGO (selatan pondok genggong tempat bidang ketompen)

Demikian undangan kami, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan jaza kumulloh khoiron katsiro.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

ttd


KETUA

"IDUL FITRI 1431 H"

Terangkai DaLam Jiwa, Terbingkai Putih dalam Hati meraih Suci di hari yang fitri...
"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI " MINAL A'IDZIN WAL FA'IDZIN" MOHON MA'AF LAHIR BATIN 1431 H" Keluarga Bani Karimin....

Jumat, 03 September 2010

Agar Panjang Umur dan Tidak Selalu Bergantung pada Manusia

Sudah seyogianya kita berdoa, memohon umur yang panjang kepada Allah SWT. Jangan sampai kita mati, dan meninggalkan anak yang masih dalam keadaan yatim. Memohon kepada Allah, agar diberi kesempatan dapat melihat anak-cucu, mengawasi pertumbuhan dan memberikan pendidikan agama yang cukup pada mereka. Sehingga di kemudian hari menjadi manusia yang saleh dan dapat meneruskan perjuangan kita.
Sebenarnya, meminta panjang umur termasuk sesuatu yang kurang bagus. Tercela, sebagaimana disebutkan dalam syarah Darut Tauhid. Namun, ada pengecualian untuk orang alim. Karena umur yang panjang berarti sebuah pengabdian yang panjang pula, dalam rangka berjuang menyebarkan ilmu. Karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk mewariskan ilmunya kepada generasi-generasi selanjutnya. Bagaimanapun juga, agama Islam akan stagnan tanpa para pemuda yang berwawasan ilmu agama.

العلم حياة الإسلام
Ilmu adalah lestarinya kehidupan agama Islam.

Berkenaan dengan hal itu, disebutkan dalam kitab-kitab klasik, amalan-amalan yang biasa dikerjakan oleh salafus sholeh, agar dipanjangkan usianya oleh Allah SWT. Di antaranya ialah dengan menahan diri untuk tidak memotong tanaman tanpa keperluan yang bermanfaat. Sebagaimana yang kerap terjadi sekarang, yakni pembalakan liar dan penggundulan hutan tanpa perhitungan yang bijak. Tersebut dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, bahwa perilaku yang sedemikian itu akan menghalangi sebab-sebab dipanjangkan usianya oleh Allah SWT. Kecuali jika memotong tanaman demi tujuan yang bermanfaat, semisal untuk membangun mushalla atau rumah hunian.
Termasuk dalam ijazah thulil umri (panjang umur) ialah dengan membiasakan membaca

سبحان الله ملأ الميزان ومبلغ العلم ومنتهى الرضوان وزنة العرش
subhanallahi mil’al mizan wa mabalghol ilmi wamuntaha ridhwan wa zinatal arsy.

Dibaca tiga kali setelah shalat maghrib dan shubuh. Selain itu dalam kitab Fathul Allam, juga disebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab dipanjangkannya usia dan dilapangkan segala kebutuhan, sehingga semakin kecil intensitas ketergantungan kita terhadap manusia. Yakni dengan selalu membaca

سبحان من لايعلم قدره غيره ولايبلغ الواصفون صفته
subhana man la ya’lamu qodrahu ghoiruhu wa la yablughu washifuna shifatahu, tiga kali setelah shalat fardhu.

Dulu pada sekitar tahun 50-an saya mendapat ijazah tersebut dari Mbah Kiai Ashrof dari Mbah Kiai Faqih Maskumambang. Yakni dengan membaca wiridan itu 7 kali setelah shalat maktubah. Menurut satu keterangan dalam kitab Showi, syarah (komentar) kitab Tafsir Jalalain, amalan tersebut ternyata sanadnya nyambung (warid) sampai Rasulullah Saw. Insya Allah, dengan membiasakan membaca wiridan ini, Allah akan menganugerahkan umur panjang dan sekaligus kekuatan untuk tidak terlalu tergantung pada manusia. Tapi hanya kepada Allah semata.
Wiridan ini menjadi penting, sebab dewasa ini, kita tahu banyak sekali kiai-kiai muda yang telah wafat sebelum ada generasi yang siap untuk menggantikan, baik dalam keilmuan maupun kepemimpinannya. Sehingga pesantren-pesantren yang telah dengan susah payah dirintis, menjadi terbengkalai. Hal ini sangat memprihatinkan, karena dengan meninggalnya satu kader kiai berarti terputuslah satu mata rantai keilmuan kita.

sumber: www.langitan.net

Selasa, 31 Agustus 2010

Yahudi Musuh ABADI

Serangan Israel terhadap Lebanon baru- baru ini menegaskan kembali untuk yang kesekian kalinya, bahwa kaum Yahudi la’natullahi alaihim tidak akan berhenti membenci dan memusuhi umat Islam, sampai kapan pun. Allah Subhanahu Wata’ala telah men-ceritakan hakikat kedengkian, permusuhan dan kebencian orang Yahudi kepada umat Islam. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (QS. Al Maidah; 82). “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah;120).Ironisnya, umat Islam dunia, termasuk Indonesia tidak banyak yang terketuk hatinya untuk membantu saudara-saudaranya di medan laga, baik bantuan tenaga, materi maupun doa.Banyak hal yang melatar-belakangi kenapa negara-negara Islam di dunia, khususnya negara Timur Tengah enggan membantu tentara Hizbullah ini. Selain karena bangsa-bangsa Timur Tengah banyak yang terikat oleh perjanjian Camp. David yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, negara-negara Arab dan umat Islam sedunia lebih melihat bahwa perang antara Israil dan Lebanon ini tak ubahnya sebagai perang antara Yahudi dan Syi’ah, bukan perang Yahudi dan Islam. Umat Islam hendaknya mau melihat bahwa orang-orang Yahudi sejak dahulu kala selalu jadi komunitas pembangkang kepada Allah dan utusan-utusanNya.
Tidak sedikit Nabi-Nabi Allah mereka bunuh dengan tanpa alasan yang benar. “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kufur kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran;112).

Api kebencian dan permusuhan orang-orang Yahudi terhadap umat Islam sudah dikobarkan sejak tarikan nafas umat Islam pertama. Tidak jarang mereka berupaya melakukan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam, tapi tidak selalu berhasil. Dan sampai kini dan kapan pun, mereka tiada henti-henti memusuhi dan memerang umat Islam.Bangsa Israel yang disokong oleh Amerika dan sekutu-sekutunya dengan senjata-senjata penghancur telah membunuh anak-anak, wanita dan orang-orang tua muslim Bangsa Lebanon dan Palestina. Peluru-peluru berhulu ledak mereka telah mengakibatkan terbunuhnya umat Islam secara biadap dan membuat mereka cacat seumur hidup. Tidak hanya itu, mereka juga telah menjadikan masjid di kawasan Palestina sebagai toko minuman keras, tempat-tempat perjudian, kandang ternak dan tempat pembuangan sampah. Mereka juga merusak Masjidil Aqsha dan menggali lubang-lubang di bawahnya supaya masjid ini roboh. Dan Yahudi akan terus selalu memusuhi dan memerang Islam.

Namun, karena yang yang dihajar dan diserang oleh Israel baru-baru ini adalah kelompok Hizbullah yang divonis berhaluan Syi’ah, maka umat Islam lainnya terutama yang berhaluan Sunni sama sekali tak terketuk ghirahnya sama sekali. Orang-orang Yahudi sadar betul bahwa issu Sunni-Syi’ah adalah “borok” paling besar yang men-jangkiti umat Islam. Borok ini diketahui betul oleh Israel sebagai titik kelemahan umat Islam yang paling mendasar. Israel sangat yakin bahwa kalau mereka menyerang Hizbullah, maka umat Islam lainnya pasti hanya akan duduk manis menyaksikan pertem-puran ini di depan pesawat televisinya masing-masing. Dan keyakinan orang-orang Yahudi ini pun benar-benar terbukti. Tidak ada kekuatan Islam lain yang membantu mereka baik berupa tenaga maupun materi. Bahkan bantuan doa dari seluruh umat Islam di penjuru dunia pun tidak begitu signifikan semangat dan geloranya. Padahal, realita di medan tempur, yang diserang Israel tidak hanya Hizbullah, tapi juga tidak sedikit dari rakyat Lebanon yang Sunni menjadi korban keganasan orang Yahudi. Mayat-mayat me-reka bergelempangan, anak-anak balita mati terbujur kaku, rumah-rumah mereka hancur lebur, rata dengan tanah.

Inilah mungkin kelemahan mendasar umat Islam. Kekuatan Islam yang besar telah terpolarisasi dalam beberapa kelompok yang antara satu kelompok dengan yang lain saling acuh, tidak peduli dan bahkan saling memusuhi. Oleh karenanya, meski umat Islam berjumlah lebih dari 1.500.000.000 (1,5 milyar) tapi tidak dapat berbuat banyak melawan orang-orang Yahudi yang hanya berkisar 20-an juta. Sikap acuh tak acuh dan ogah-ogahan mayoritas umat Islam, terutama para pemimpin negara-negara Arab terhadap nasib saudara-saudaranya yang di-bunuh dan dicincang oleh orang-orang Yahudi besar kemungkinan karena umat Islam tidak lagi memiliki ghirah jihad berperang melawan musuh-musuh Allah. Ketakutan dan keloyoan umat Islam, khususnya para pemimpin negara-negara Arab ini karena sebagian besar mereka telah dikendalikan secara sistematis oleh kekuatan Amerika dan sekutu-sekutunya. Inilah persis dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam bahwa umat Islam akan dijangkiti oleh penyakit wahn.

Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud. Nomor 3745)

*Penulis adalah pengasuh PP. al-Haromain Pujon, Malang, Jatim
Beliau alumni Sayyid al-Maliki Makkah dan PP. Langitan Tuban